Bisnis.com, JAKARTA -- Kinerja penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) mendapat banyak sorotan akhir-akhir ini. Isu tentang ketidaknetralan hingga ketidakharmonasian antara penyelenggara pemilu ditengarai sebagai salah satu pemicunya.
Badan Legislasi (Baleg) DPR pun telah mendorong penataan ulang kelembagaan melalui amandemen UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Anggota Baleg DPR Sodik Mudjahid mengatakan pembenahan tiga lembaga penyelenggara Pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sangat diperlukan untuk kelangsungan demokrasi.
“Kalau ada semacam konflik artinya kan ada pengawasan yang ketat dan pemilu berjalan dengan baik. Tapi faktanya konflik yang terjadi sering berlebihan, tampaknya hal ini disebabkan oleh lemahnya kelembagaan dan kode etik masing-masing,” kata dikutip dari laman resmi DPR, Kamis (21/1/2021).
Sodik menjelaskan bahwa penyelenggaraan Pemilu memang kerap memunculkan paradoks. Sodik menyoroti putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang cenderung hanya mengatur saat proses elektoral terjadi, namun tidak di masa pasca elektoral.
Sementara itu, Anggota Baleg DPR RI Ary Egahni Ben Bahat mencermati soal pengaturan penataan kelembagaan penyelenggaraan Pemilu yang terkoneksi lewat Undang-Undang UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Dia menggarisbawahi perlunya pengkajian kelembagaan penyelenggara Pemilu saat ini yang terdiri dari KPU, Bawaslu dan DKPP.
“Saya berharap RUU ini bisa segera disahkan untuk mendukung proses Pemilu yang lebih baik,” katanya. Menurut politisi Partai NasDem itu.
Pilkada serentak pada tahun 2020 lalu dapat menjadi bahan pelajaran, di mana salah satu lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu yakni Bawaslu sempat bertindak kontroversial dengan menganulir hasil pemilihan.
Disisi lain, anggota Baleg DPR RI Bukhori juga sempat menyinggung terkait persoalan Bawaslu, yang menurutnya tetap diperlukan, walau terkadang menghambat kelancaran penyelenggaraan Pemilu dengan intrik-intrik yang terjadi di beberapa kasus Pilkada.
"Soal paradoks senada dengan pandangan saya, bahwa UU pemilu yang baru nanti harus bisa mendorong demokrasi substansial, bukan hanya institusional dan struktural saja tapi substansinya tidak hadir,” tukasnya.