Bisnis.com, JAKARTA - Kasus korupsi paket bantuan sosial (bansos) menyisakan banyak pertanyaan. Selain keterlibatan Menteri Sosial Juliari P Batubara dan dua pejabatnya, keberadaan dua sosok swasta dalam perkara itu masih cukup misterius.
Penyidik lembaga antikorupsi hanya memberikan informasi bahwa keduanya berasal dari pihak swasta. Sementara, asal-usul mereka mulai dari seluk beluk penyuapan, identitas (selain nama), hingga kepentingan dua pihak swasta itu belum diungkap secara gamblang oleh KPK.
Dalam catatan KPK, nama dua orang swasta itu adalah Harry Sidabukke dan Ardian IM. Keduanya adalah tersangka dari pihak swasta. Mereka diduga menyuap pejabat Kementerian Sosial, termasuk Juliari. Uang senilai Rp14,5 miliar yang diduga suap itu disiapkan keduanya di dua tempat berbeda yakni Bandung dan sebuah apartemen di Jakarta.
Menariknya, pihak KPK selalu mengatakan nama perusahaan dan peran jabatan dalam perusahaan kedua orang tersangka itu akan didalami lebih lanjut. Namun, KPK tak bisa menjelaskan identitas keduanya secara detil karena sudah masuk dalam materi penyidikan perkara.
"Nanti kami akan update perkembangannya ketika pemeriksaan para saksi dilakukan," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dihubungi, Minggu (14/12/2020).
Baca Juga : Suap Mensos: Janggal Penunjukkan Rekanan Bansos |
Pernyataan KPK itu seolah bertolak belakang dengan sikap mereka ke tiga pejabat di Kementerian Sosial. Saat memberikan keterangan resmi seusai penangkapan, komisi antirasuah tanpa pandang bulu mengungkap secara gamblang peran dari ketiga tersangka pejabat Kemensos.
Sebut saja soal sosok Matheus Joko Santoso. Dia adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos. Sosok Matheus ditengarai sebagai beneficial owner atau penerima manfaat dari PT Rajawali Parama Indonesia.
Baca Juga : Kenakan Pasal Suap ke Mensos Juliari, KPK Hindari Pasal Hukuman Mati? |
PT RPI, seperti yang sudah diungkap Bisnis, adalah salah satu pihak yang ditunjuk untuk pengadaan bansos di Kemensos.
Menariknya, meski ditunjuk sebagai vendor proyek yang nilainya triliunan rupiah, PT RPI hanya memiliki modal dasar senilai Rp500 juta. PT RPI juga hanya diisi oleh satu orang komisaris dan satu orang direktur. Umur keduanya masih di bawah 30 tahun.
Sementara, data dua vendor atau swasta lainnya yakni Indra IM dan Harry Sidabukke sama sekali belum terendus sampai saat ini. Bisnis mencoba menelusuri asal usul dua orang tersebut dengan mengecek jejak mereka di media sosial.
Salah satu temuan menariknya, salah satu tersangka yakni Harry Sidabukke merupakan pengurus di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jakarta Raya (Jaya) dan Hipmi Jakarta Pusat.
Di Hipmi Jaya, yang diketuai oleh keponakan eks Wakil Presiden Jusuf Kalla, Afifuddin Kalla, Harry terdaftar sebagai Ketua Departemen Bidang Organisasi. Harry juga tercatat sebagai Sekretaris Umum di Hipmi Jakarta Pusat.
Di luar organisasi pengusaha, Harry juga terdaftar sebagai anggota Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Surabaya.
Bisnis mencoba mengontak nomor Harry melalui sambungan telepon maupun pesan tertulis. Namun hingga berita ini diterbitkan, Harry tidak merespons permintaan konfirmasi tersebut.
Respons serupa juga disampaikan oleh Ketua Hipmi Jaya Afifuddin Kalla. “Nanti ya, agak siangan,” kata dia saat dikonfirmasi, Senin kemarin.
Sementara itu, Sekretaris Umum Hipmi Jaya Arief Satria Kurniagung membenarkan bahwa Harry Sidabukke adalah salah satu anggota Hipmi Jaya dan pengurus Hipmi Jakarta Pusat. Menurut Arief, pihaknya menghormati upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK.
Namun demikian, Arief juga memastikan bahwa tindakan Harry Sidabukke tidak ada sangkut pautnya dengan Hipmi secara organisasi. “Kami menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, apa yang dilakukan yang bersangkutan tidak ada kaitannya dengan organisasi,” tegasnya.
Pengacara
Harry Sidabukke atau Harry Van Sidabukke dalam pencarian di lini masa juga tercatat sebagai salah satu pengacara di kantor hukum Sidabukke & Partner. Sebelum hijrah ke Jakarta, Harry tercatat sebagai anggota Peradi Surabaya.
Pengakuan menarik diungkapkan oleh Ketua DPC Peradi Surabaya Hariyanto saat dihubungi Bisnis, Senin (14/12/2020) kemarin. Hariyanto mengaku mengenal sosok Harry Sidabukke. Dia juga berberapa kali bertemu dalam sebuah acara di Jakarta.
Hanya saja, meski telah tercatat sebagai anggota Peradi, aktivitas yang dilakukan Harry, menurutnya, lebih banyak mengurus masalah bisnis. "Dia itu ngurus-ngurus usaha, ngurus perizinan gitu-gitu dia," ungkapnya.
Hariyanto juga mengungkap bahwa sejak tahun 2015 Harry tidak lagi tercatat sebagai anggota Peradi Surabaya. Harry, kata dia, telah pindah keanggotaan ke Peradi Jakarta Selatan. "Dia pindah ke DPC Jaksel," ujarnya.
Bisnis berupaya mengonfirmasi kantor hukum Sidabukke & Partner baik melalui surat elektronik maupun sambungan telepon ke kantor Sidabukke & Partner yang berada Kantor Jakarta maupun Surabaya. Namun, hingga berita ini ditulis, permintaan konfirmasi Bisnis belum dijawab oleh kantor kantor tersebut.
"Kami belum bisa mengonfirmasi itu, saya tak punya kewenangan untuk menjawab itu," kata salah satu pegawai ketika menjawab permintaan konfirmasi tersebut.
Misterius
Di sisi lain, sosok Ardian I M sampai saat ini juga masih misterius. Pihak Hipmi jaya juga memastikan bahwa Ardian bukan bagian dari organisasi pengusaha muda tersebut. "Di database kami tidak ada nama itu," imbuh Sekum Hipmi Jaya Arief.
Sementara KPK juga baru sebatas menyebut sosok Ardian IM sebagai tersangka suap dari pihak swasta. KPK tak menjelaskan motif dan asal-usul Ardian secara rinci, beda dengan tersangka lainnya. “Bukti-bukti awal itu akan dikembangkan dalam proses penyidikan,” ucap Ali Fikri.
Dalam catatan Bisnis, dugaan keterlibatan dua sosok swasta itu bermula dari proyek pengadaan bansos penanganan Covid 19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode.
Menteri Sosial Juliari P Batubara diketahui menunjuk Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan.
Penyidik lembaga antikorupsi menduga dalam penunjukkan tersebut disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS.
"Untuk fee tiap paket Bansos di sepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu perpaket Bansos," demikian bunyi penjelasan resmi KPK.
Setelah penunjukkan tersebut, MJS dan AW pada bulan Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian IM, Harry Sidabukke dan juga PT RPI yang diduga milik MJS.
KPK menyebut penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Mensos dan disetujui oleh AW.
Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar.
Pemberian uang tersebut, menurut KPK, selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SN selaku orang kepercayaan JPB untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi menteri dari PDI Perjuangan tersebut.
"Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekit Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Mensos," tukasnya.