Bisnis.com, JAKARTA – Perhimpunan untuk Pendidikandan Guru (P2G) mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan evaluasi darurat terkait dengan pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang baru-baru ini disebut memakan korban.
Baru-baru ini, seorang siswa SMA di Goa, Sulawesi Selatan bunuh diri, karena diduga stres, merasa terbebani tugas belajar selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di masa pandemi.
Sementara, beberapa bulan lalu juga terdapat laporan seorang siswa SD meninggal karena mendapatkan perlakukan kekerasan dari orangtua di rumah, yang tak sabar mendampingi anak selama PJJ.
Alih-alih memberikan evaluasi terkait dengan pelaksanaan PJJ, Kemendikbud mengeluarkan aturan baru soal Asesmen Nasional (AN).
Menurut P2G, Asesmen Nasional bukanlah hal buruk, hanya saja dinilai memecah fokus Kemendikbud dalam mengawasi pelaksanaan PJJ.
Koordinator P2G Satriwan Salim mengatakan, secara substansi P2G memberikan apresiasi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, yang sudah berani menghapus Ujian Nasional (UN) yang selalu menjadi beban dan momok bagi siswa selama belasan tahun.
Baca Juga
"Namun, P2G menilai kebijakan Kemdikbud melaksanakan AN yang dijadwalkan Maret 2021 nanti dirasa terkesan tergesa-gesa, dan tidak tepat momentumnya di masa pandemi dan PJJ yang masih banyak kendala,\" kata Satriwan Salim, Koordinator P2G melalui siaran pers, Senin (19/10/2020).
Oleh karena itu, Satriwan mengatakan bahwa P2G meminta Kemendikbud untuk menunda pelaksanaan Asesmen Nasional dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, di lapangan, kalangan guru, siswa, dan orang tua masih banyak yang belum memahami format dan esensi dari AN. Bahkan masih ada guru dan orang tua yang menganggap sama saja antara UN dengan AN.
"Ada persoalan kendala sosialisasi oleh Kemdikbud yang jauh dari kata maksimal. Dalam hal waktu, memang terlihat terburu-buru, sekarang sudah Oktober, sedangkan AN dijadwalkan Maret 2021, persiapannya singkat. Sementara kondisi siswa masih dalam pembelajaran metode PJJ, yang pelaksanaannya jauh dari kata optimal dalam konteks kualitas pembelajarannya," terangnya.
Kedua, terkait anggaran yang diajukan Mendikbud dalam Raker dengan DPR untuk program A sekitar Rp1,49 triliun. Menurut P2G angka tersebut terlampau fantastis, melampui angka Dana POP yang menjadi polemik beberapa waktu lalu.
"Bagi P2G lebih baik anggaran yang jumbo ini sementara dialokasikan untuk membantu siswa dan guru selama PJJ, baik yang PJJ Daring maupun yang PJJ Luring," sambung Iman Z Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G.
Ketiga, terkait dengan persoalan PJJ yang sudah 8 bulan masih stagnan dan dinilai belum ada perbaikan signifikan, khususnya untuk PJJ luring juga belum dirasakan kecuali tayangan pembelajaran TVRI dan RRI.
Menurut Iman, persoalan siswa dan guru tak punya gawai, susahnya sinyal internet, akses ke rumah siswa yang sulit dijangkau guru, keterbatasan waktu tatap muka, biaya ekstra, menjadi tumpukan persoalan PJJ Luring yang berakibat pada makin menurunnya kualitas pembelajaran dan pendidikan secara umum, khususnya di daerah yang melaksanakan PJJ Luring.
"Lebih baik Kemdikbud fokus menyelesaikan ini dulu, anggarannya dimanfaatkan membenahi PJJ Luring, ketimbang memaksakan AN yang berbiaya besar," tegas Iwan.
Keempat, program AN dirasa P2G terlalu dipaksakan karena tidak sesuai kebutuhan siswa yang masih terkendala melaksanakan PJJ.
"Meskipun pemerintah sudah menganggarkan subsidi pulsa selama PJJ sebesar Rp7,2 triliun, namun ini hanya membantu untuk PJJ Daring, bukan PJJ Luring.
Bahkan, masih banyak guru dan siswa yang tidak dapat bantuan kuota internet pada bulan pertama September lalu. P2G mendata laporan guru dari 14 Provinsi yang tidak menerima bantuan kuota internet bulan September," lanjut Satriwan.