Bisnis.com, JAKARTA – Pecahnya kericuhan pada aksi demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di sejumlah daerah masih meninggalkan sejumlah kejanggalan yang perlu ditelusuri.
Menurut Peneliti Indonesia for Global Justice, Hafidz Arfandi menjelaskan ada mekanisme umum yang biasa dilakukan oleh para demonstran seturut aturan dan undang-undang. Oleh sebab itu, aksi demonstrasi biasanya tidak bertujuan menciptakan tindakan anarkis yang mengganggu stabilitas dan kepentingan umum.
Dia memerinci, berdasarkan sejumlah temuan pasca demonstrasi pada Kamis (8/10/2020), ada banyak perusakan fasilitas umum yang terkonsentrasi di titik aksi. Dia pun menyoroti letak perusakan fasum yang terjadi di sekitar arena demonstrasi.
“Perusakan oleh massa, biasanya lajunya ke depan, bukan ke belakang, artinya, titiknya seharusnya di depan titik massa, bukan sebaliknya saat mundur,” ungkap Hafidz melalui akun pribadinya di Facebook, dikutip Jumat (9/10/2020).
Dia menjelaskan, mekanisme itu umum karena perlawanan massa saat demonstrasi selalu mengarah ke aparat. Misalnya, melempar sesuatu untuk melawan serangan. Sehingga motif para demonstran adalah membela diri. Dalam manajemen aksi, area belakang demonstran juga seharusnya dalam keadaan kosong sebagai upaya untuk melarikan diri saat situasi sudah tidak terkendali. Misalnya karena ada penembakan, dan pentingnya peserta aksi untuk bisa mencari perlindungan.
“Kalau daerah untuk mundur itu justru dibuat rusuh, namanya bunuh diri, karena aparat keamanan sifatnya mobile, bisa mendatangkan kekuatan baru untuk memukul mundur massa,” tuturnya.
Baca Juga
Dia menyambung, jika area belakang massa dibuat rusuh dan massa terkepung, hal ini menimbulkan kejanggalan yang tidak wajar dalam manajemen aksi. Oleh sebab itu, dengan melihat peta kerusakan fasum dan sasaran sejenis misalnya; halte Transjakarta, Kementerian ESDM, dan Balai Kota DKI Jakarta, dia memprediksi ada penyusunan strategi yang melampaui manajemen aksi massa biasa.
Pertama, untuk bisa merusak fasum tentu membutuhkan alat dan barang tertentu. Artinya, butuh pasokan seperti bensin, bom, batu, tongkat, korek api, plastik, hingga kayu untuk merusak karena tak mudah ditemukan di jalan raya. Sejumlah temuan ini membuat Hafidz berkesimpulan, sangat sulit untuk mengatakan bahwa aksi perusakan ini adalah spontanitas dari massa.
“Pasti ada persiapan, termasuk bahan-bahan tadi secara mobile, bisa dengan motor atau mobil yang seakan-akan mobil komando massa, sebab mustahil barang itu dibawa jalan, selain berat, berisiko sewaktu-waktu tertangkap aparat,” sambungnya.
Hafidz menambahkan, psikologis massa memang sulit ditebak, terutama jika ada yang tersulut emosi. Namun secara umum setiap aksi massa yang terjadi kemarin, sudah tersusun sistematis dan terencana sehingga bukan bagian dari massa aksi.
“Perusakan yang masif dan luas jelas menunjukkan inkapabilitas otoritas keamanan dan intelijen di lapangan untuk melakukan pencegahan, saya yakin aparat paham betul bagaimana strategi mengendalikan massa,” tutur Hafidz.