Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah bersama DPR dalam rapat pada Sabtu (3/10/2020) malam, memutuskan membawa RUU Omnibus Law Cipta Kerja ke sidang paripurna. Rencananya, RUU itu disahkan pada 8 Oktober 2020.
Keputusan itu mendapat penolakan dari sejumlah pihak, terutama buruh, dan termasuk Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB).
“KM ITB tidak tinggal diam,” tulis akun Twitter Keluarga Mahasiswa ITB melalui @KM_ITB, Minggu (4/10/2020) malam.
Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan terdapat dua poin yang ditekankan KM ITB, yaitu pertama menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena:
a. Pembahasan RUU Cipta Kerja yang tidak partisipatif dan tidak transparan, melanggar UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b. Klaster Ketenagakerjaan dari RUU Cipta Kerja yang tidak memberikan solusi yang berarti dan hanya menambah polemik permasalahan bangsa.
Baca Juga
c. Pasal-pasal problematik pada RUU Cipta Kerja terkait lingkungan, agraria, dan pendidikan yang berisiko menimbulkan ketidakadilan dan malapetaka di masa depan.
d. Semangat sentralisasi kekuasaan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang melawan amanat reformasi dan otonomi daerah.
Kedua, menuntut Pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan mempertimbangkan kebijakan lain yang lebih berdampak jelas terhadap perekonomian Indonesia antara lain:
a. Memperkuat pemberantasan korupsi secara signifikan, mengingat korupsi merupakan faktor utama penghambat investasi di Indonesia.
b. Meningkatkan investasi alat dan mesin serta memberlakukan insentif yang tepat sasaran kepada para pengusaha demi mengundang investasi berkualitas tinggi, mengembangkan sektor industri prioritas, dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
c. Membuat sistem manajemen regulasi (SMR) yang baik dalam mengendalikan pembuatan regulasi dan mengatasi permasalahan obesitas regulasi di Indonesia, terutama untuk mengontrol regulasi tumpang tindih yang sering kali dibuat oleh pemerintah eksekutif.
d. Membuat kebijakan yang berfokus pada pengembangan keahlian pekerja dan penggunaan teknologi dalam rangka meningkatkan produktivitas pekerja.
RUU Cipta Kerja sendiri telah mendapat penolakan sejak awal perancangannya diumumkan lantaran terkesan memihak kepada investor dan merugikan pekerja di dalam negeri.
Pernyataan Sikap KM ITB terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja,
— KM ITB (@KM_ITB) October 4, 2020
A Thread:#MosiTidakPercaya #BatalkanOmnibusLaw #JegalSampaiGagal pic.twitter.com/e2TnTyKtwi
RUU Cipta Kerja merupakan bagian dari Omnibus Law yang di dalamnya terdapat tiga RUU yang siap diundangkan bersama RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
RUU Cipta Kerja jadi RUU paling banyak jadi sorotan publik lantaran dinilai banyak memuat pasal kontroversial dan menjadi paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia.
Sejumlah pasal dari RUU Omnibus Law dianggap serikat buruh akan merugikan posisi tawar pekerja antara lain terkait penghapusan skema upah minimum UMK yang diganti dengan UMP yang bisa membuat upah pekerja lebih rendah.
Kemudian, buruh juga mempersoalkan Pasal 79 yang menyatakan istirahat hanya 1 hari per minggu yang artinya kewajiban pengusaha memberikan waktu istirahat kepada pekerja atau buruh makin berkurang dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja.
Hal ini tertera pada Pasal 79 RUU Cipta Kerja yang berbeda dengan regulasi sebelumnya, UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, di mana pengusaha wajib memberi waktu istirahat mingguan, satu dan dua hari bagi pekerjanya.
Selain itu, beberapa ketentuan juga dianggap kontroversial antara lain terkait pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja, mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serta jaminan sosial.