Bisnis.com, JAKARTA - Pakar Hutum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa melakukan evaluasi kinerja aparat penegak hukum. dalam sengkarut kasus terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra.
Pasalnya, upaya pelarian Djoko Tjandra selama 11 tahun berbuntut panjang, hingga menyeret aparat penegak hukum yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Adapun aparat penegak hukum yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Brigjen Prasetijo Utomo dan pengacara Anita Kolopaking telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Keduanya diduga terlibat dalam pemalsuan surat jalan dan surat pemeriksaan Covid-19 untuk Djoko Tjandra.
“Kepala negara itu pemegang kekuasaan yang tertinggi, bahkan penegakan hukum yang berada di wilayah kekuasaan eksekutif, artinya kepolisian dan Kejaksaan itu juga ada di bawah kekuasaan presiden,” kata Bivitri dalam sebuah diskusi, Rabu (6/8/2020).
Bivitri pun menyayangkan jika Jokowi tidak melakukan evaluasi terhadap kinerja aparat penegak hukum. Apalagi, di unsur Kejaksaan Agung, yakni Jaksa Pinangki Sirna Malasari pun diduga turut menerima uang dan saat ini tengah melakukan pendalaman.
“Saya ingin mengatakan bahwa presiden dalam sistem presidensial Indonesia itu kan kekuasaannya luar biasa dia, tidak hanya kepala negara, tapi juga kepala pemerintahan,” katanya.
Baca Juga
Dia mencontohkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat dibentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Tim itu dibentuk tidak lain untuk mengawasi praktik mafia hukum di lembaga aparat penegak hukum.
Bahkan, setiap tiga bulan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum melaporkan kinerjanya. Namun, tim tersebut hanya aktif selama dua tahun sesuai Keputusan Presiden. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kekuasaan tertinggi presiden di ranah penegakan hukum.
“Dalam laporannya, mereka menerima hampir 5.000 aduan. Bahkan mereka sidak ke beberapa Lapas dan lembaga penegak hukum,” ucap Bivitri.