Bisnis.com, JAKARTA - Akses pencalonan kepala daerah yang sangat terbatas dan proses rekrutmen di partai politik yang bersifat sentralistik menjadi penyebab suburnya dinasti politik di Indonesia.
Demikian dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggrani menanggapi fenomenai berkembangnya dinasti politik dari pemilu ke pemilu di Indonesia. Dia mengakui sejak pemilu langsung kepala daerah (Pilkada) diadakan pertama kali pada 2005, dinasti politik atau politik kekerabatan bukannya berkurang, namun kian bertambah subur.
Menurutnya, politik kekerabatan cenderung destruktif dalam konteks hak asasi warga negara atau akses terhadap politik dan kepemiluan. Dinasti politik juga cenderung melahirkan para kepala daerah yang koruptif.
Akses kepada pencalonan kepala daerah yang sangat terbatas (limitatif) karena hanya bisa dimiliki oleh partai-partai yang punya daya dukung besar, menjadi salah satu penyebab berkembangnya dinasti politik. Apalagi dengan adanya ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah 20 persen kursi atau 25 persen suara sah di pemilu.
“Ambang batas ini berkontribusi bagi akses yang limitatif di dalam proses pencalonan kepala daerah di Pilkada,” ujarnya, Rabu (29/7/2020).
Di sisi lain, Titi menggarisbawahi proses rekrutmen yang diatur di dalam Undang-undang Pilkada yang makin sentralistik. Dia mengatakan bahwa meski Dewan Pimpinan Daerah (DPD) satu parpol telah menentukan calon, calon itu bisa dianulir oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP).
Baca Juga
Salah satu contoh dalam hal ini terlihat ketika Gibran Rakabuming Raka yang direkomendasikan oleh DPP PDI Perjuangan untuk menjadi calon wakilota Solo. Putra sulung Presiden Jokowi itu lebih dipilih ketimbang Achmad Purnomo yang sebelumnya direkomendasikan DPD Kota Solo.
“Tata kelola pemerintahannya desentralisasi, tapi kok partai politik kita makin sentralistik. Ini juga menjadi salah satu ya mestinya kita evaluasi di dalam undang-undang kepemiluan kita,” katanya.
Titi mengatakan rekrutmen yang bersifat elitis yang hanya diputuskan segelintir orang di partai politik itulah yang membuat suburnya dinasti politik. Titi mengatakan dinasti politik tidak saja menghancurkan demokrasi, tetapi juga mematikan kompetisi yang menjadi esensi dari pemilu itu sendiri.