Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) didesak menggunakan hak angket terhadap institusi penegak hukum dalam kasus Djoko Tjandra. Desakan itu datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
"ICW mendesak DPR RI menggunakan hak angket dalam kasus Djoko Tjandra terhadap kepolisian, kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Dalam Negeri," kata Peneliti ICW Donal Fariz dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (25/7/2020).
Donal menilai kasus Djoko Tjandra telah memunculkan polemik panjang namun tidak ada keseriusan dari pihak-pihak berwenang untuk betul-betul menuntaskan kasus tersebut.
Nama Djoko Tjandra mencuat kembali saat dia diketahui dengan mudah mengurus KTP elektronik dan paspor, padahal statusnya diketahui adalah buronan kasus korupsi.
"Kasus Djoko Tjandra telah menimbulkan polemik panjang. Djoko Tjandra, buron kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali telah menjadi buron sejak 2009. Kasus korupsi yang menjerat dirinya merugikan negara hingga Rp940 miliar," ujarnya.
Menurut Donal, mudahnya Djoko Tjandra untuk mendapat akses layanan publik maupun keluar masuk Indonesia, hampir tak mungkin dilakukan tanpa bantuan pihak berwenang.
"Ini juga terbukti dengan dicopotnya tiga perwira tinggi polisi karena diduga membantu Djoko Tjandra. Namun, ICW tidak menemukan keseriusan dari pihak-pihak lain yang semestinya bisa turun tangan untuk mengusut masalah. Alih-alih demikian, mereka lebih memilih berdiam diri tanpa berbuat apa-apa," ujarnya.
DPR RI, lanjut dia, salah satu pihak yang dapat melakukan tindakan dalam merespons masalah Djoko Tjandra.
Dia berpendapat bahwa DPR RI memiliki hak untuk melakukan penyelidikan melalui hak angket. Hak angket pernah dilakukan untuk berbagai kasus besar, seperti skandal Bank Century dan BLBI.
"Sementara saat ini, tidak ada pertanda yang menunjukkan mereka akan menggunakan hak angket untuk menyelediki kasus Djoko Tjandra," kata Donal.
Menurut dia, hal itu merupakan ironi karena beberapa waktu lalu DPR RI secara sigap membentuk hak angket KPK.
"Saat itu, nama-nama besar anggota dan mantan DPR RI disebut-sebut dalam kasus korupsi KTP-el tetapi kali ini kita tidak menemukan kesigapan yang sama," ungkap Donal.
Sebelumnya, tiga jenderal polisi yang dicopot dari jabatannya ditengarai memiliki peran masing-masing dalam membantu Djoko Tjandra, yakni Brigjen Pol. Prasetijo Utomo, Inspektur Jenderal Pol. Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo.
"Alasan mereka dicopot karena terbukti melanggar kode etik. Akan tetapi, KPK dapat menelusuri lebih jauh terkait dengan hal itu. Tidak menutup kemungkinan terdapat tindakan lain yang dilakukan dalam membantu Djoko Tjandra dan mengarah pada tindak pidana korupsi," ujar Donal.
Oleh karena itu, ICW juga mendesak Ketua KPK Firli Bahuri untuk menelusuri potensi korupsi oknum jenderal Polri dalam kasus Djoko Tjandra tersebut.
"Apabila tidak ada tindakan dari pihak-pihak berwenang, ini menunjukkan tidak adanya keseriusan dari pihak-pihak berwenang dalam menyelesaikan kasus Djoko Tjandra. Dengan itu pula dugaan bahwa Djoko Tjandra dilindungi oleh rezim pemerintahan saat ini bisa makin terang terlihat," katanya.