Bisnis.com, JAKARTA — Penetapan batas atas tarif rapid test yang ditetapkan Kementerian Kesehatan dinilai bisa memberi kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh layanan uji cepat dengan harga yang lebih terjangkau.
Meski demikian, pemerintah diharapkan dapat mendorong penegakan diagnosis Covid-19 dengan mengacu pada pengujian yang lebih akurat.
"Dengan batas atas ini, masyarakat berpotensi mendapatkan layanan tes yang lebih murah dan tahu berapa harga maksimal yang memang seharusnya mereka bayarkan," kata Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Ardiansyah Parman saat dihubungi Bisnis, Rabu (8/7/2020).
Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan bahwa penetapan batas tarif atas rapid test tidak menyelesaikan masalah akurasi diagnosis Covid-19 di tengah masyarakat.
Menurut Peneliti YLKI Natalya Kurniawati, alih-alih menetapkan tarif maksimal, pemerintan seharusnya mengatur standar alat pengujian yang bisa menjadi acuan apakah masyarakat benar-benar terjangkit Covid-19 atau tidak.
"Yang seharusnya diatur adalah standar alat uji coba. Di Korea Selatan juga disebut rapid test, tapi bisa lebih akurat, sedangkan di Indonesia ada dua jenis tes, yakni rapid test antibodi dan PCR [polymerase chain reaction] swab," ujar Natalya.
Baca Juga
Dia menuturkan bahwa sebagai instrumen screening, penggunaan tes uji cepat belum bisa menjadi acuan karena tingkat kesalahannya bisa tinggi, tergantung dari mana produk tersebut didatangkan. Hal ini amat berbeda dengan PCR swab yang pengujiannya didasarkan pada keberadaan virus pada tubuh pasien.