Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagendakan pemeriksaan terhadap 3 orang saksi dalam kasus suap dan gratifikasi terkait perkara di Mahkamah Agung (MA) tahun 2011 - 2016.
Mereka adalah dua orang wiraswasta bernama H Fau Richard Masdjedi dan Devi Chrisnawati, serta satu pengacara bernama Hidayat Achyar.
Ketiganya akan diperiksa untuk melengkapi berkas perkara tersangka mantan Sektetaris MA Nurhadi.
"Ketiganya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Nurhadi," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Selasa (7/7/2020).
Belum diketahui apa yang akan digali tim lembaga antirasuah dari dua saksi tersebut. Namun, sejak beberapa waktu lalu KPK tengah mendalami sejumlah aset yang dimiliki oleh Nurhadi.
Pada pemeriksaan sebelumnya, KPK mendalami kepemilikan vila oleh tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait perkara di Mahkamah Agung Nurhadi, di Ciawi, Bogor, Jawa Barat.
Baca Juga
Hal tersebut dikonfirmasi lembaga antirasuah dari saksi bernama Tejo Waluyo. Dalam jadwal pemeriksaan Tejo Waluyo ditulis sebagai satpam.
"Penyidik mengkonfirmasi mengenai dugaan kepemilikan vila oleh tersangka NHD (Eks Sekretaris MA Nurhadi) yang berada di daerah Ciawi, Bogor, Jawa Barat," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Senin (6/7/2020).
Adapun, Nurhadi dan Rezky Herbiyono bersama Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) pada 16 Desember 2019 telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di Mahkamah Agung (MA) pada 2011-2016.
Ketiganya kemudian dimasukkan dalam status DPO sejak Februari 2020. Untuk tersangka Hiendra saat ini masih menjadi buronan.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Adapun, penerimaan suap tersebut terkait dengan pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT KBN (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 miliar, dan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 miliar sehingga akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 miliar.