Bisnis.com, SLEMAN - Warganet kurang antusias dengan new normal karena terminologinya lebih untuk kepentingan ekonomi dan bisnis ketimbang sebagai pranata sosial baru.
Hal itu berdasarkan penelitian dari Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) ketika melakukan penelitian terkait reaksi warganet dalam merespon wacana "new normal" di Indonesia. Dari riset populer itu, peneliti mendapati bahwa warganet cenderung tidak serius dalam menanggapi new normal.
Peneliti CfDS UGM, Dewa Ayu Diah Angendari menuturkan riset itu dilakukan dengan mengambil data dari berita daring dan konten di media sosial Twitter dengan periode waktu 7 Mei-5 Juni 2020. Dari 9.236 berita daring oleh berbagai media resmi yang terdaftar di Dewan Pers, peneliti menemukan bahwa pemberitaan new normal didominasi optimisme dari sektor ekonomi dan bisnis.
Hal berbeda ditemukan dari pemangku kepentingan di bidang kesehatan. Penerapan new normal di Indonesia dianggap terlalu dini. Istilah itu pun seringkali dibingkai cukup positif, sementara istilah pelonggaran PSBB dinilai bermakna negatif. "Padahal kedua istilah tersebut merupakan hal yang sama, karena pemberlakuan new normal ditandai dengan pelonggaran PSBB," ungkapnya dalam konferensi pers daring, Selasa (16/6/2020).
Peneliti lain, Iradat Wirid menambahkan ada hal menarik yang ditemukannya dalam analisis terhada[ 112.471 cuitan di Twitter yang berkaitan dengan new normal. "Ada lima jenis akun yang mendominasi percakapan, seperti akun pejabat publik, lembaga pemerintah, media daring, menfes, dan akun populer Twitter," ujar Iradat.
Dalam akun menfes dan populer Twitter, warganet merasa pemberlakuan new normal terlalu dini. Mereka juga memberikan kritik melalui candaan dan bahasa sarkasme, bahkan tanggapan terhadap wacana ini menurut Iradat diwarnai meme atau gurauan yang tidak berkaitan langsung dengan wacana new normal.
Peneliti melihat terdapat kebingungan di masyarakat mengenai protokol pelaksanaan new normal. Ia merekomendasikan pengkajian ulang penerapan new normal beserta perumusan protokol new normal yang lebih komprehensif dan mendetail untuk menghindari kebingungan masyarakat.
"Protokol yang komprehensif dan mendetil ini juga berkaitan dengan komunikasi publik, karena seringkali komunikasi dari pemerintah itu tidak utuh. Padahal, warganet di Twitter itu cenderung kritis," kata dia.
Selain itu, ia juga menyarankan akun lembaga publik untuk turut serta mengampanyekan new normal. "Akun pejabat publik sering mengkampanyekan ini, tapi akun lembaganya justru tidak. Padahal itu perlu," tambahnya. Ia berharap hasil penelitian ini bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam rangka mempersiapkan new normal.