Bisnis.com, JAKARTA – Undang-Undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong telah memicu gelombang baru protes anti-China di wilayah bekas koloni Inggris ini.
Undang-Undang yang disetujui Parlemen China tersebut dikhawatirkan bakal menjadi 'lonceng kematian' kebebasan di Hong Kong dan mengancam statusnya sebagai pusat keuangan internasional.
Di luar dugaan, Menteri Keuangan Hong Kong Paul Chan mengatakan bahwa ia justru menerima banyak tanggapan positif dari para perwakilan di sektor perbankan dan private wealth management terkait undang-undang kontroversial ini.
Menurut Chan, berdasarkan komunikasinya dengan Hong Kong Association of Banks dan Private Wealth Management sepekan setelah usulan legislasi itu diloloskan, klien-klien di sektor ini cenderung mendukung undang-undang baru tersebut.
Pandangan dari para klien tentang masalah itu bahkan tidak berubah dua pekan setelah Kongres Rakyat Nasional China pada 28 Mei menyetujui proposal memberlakukan undang-undang kemanan baru untuk Hong Kong.
“Saya mengonfirmasikan kembali tadi malam, dan klien mereka [tetap] berpandangan positif tentang hal itu,” ungkap Chan pada Kamis (11/6/2020), seperti diberitakan South China Morning Post.
Baca Juga
“Hukum dan ketertiban publik, juga stabilitas, adalah hal penting bagi mereka, terutama setelah kerusuhan sosial berubah menjadi aksi kekerasan pada kuartal keempat tahun lalu,” terangnya.
Chan menambahkan dia akan menunggu hingga Agustus untuk meninjau kembali proyeksi ekonomi Hong Kong yang telah terdampak pandemi virus corona (Covid-19). Pada April, ia menurunkan perkiraan pemerintah menjadi kontraksi sebesar sekitar 4 persen dan 7 persen tahun ini dari tahun lalu.
Kepercayaan akan reputasi kota ini sebagai pusat keuangan internasional telah terpukul sejak pemberitaan tentang undang-undang baru itu mencuat.
Undang-undang yang bertujuan melarang kegiatan terkait dengan pemisahan diri, subversi, terorisme, dan campur tangan asing dalam urusan lokal ini dipandang akan merusak otonomi Hong Kong di bawah prinsip "satu negara, dua sistem".
Namun, Chan mengatakan undang-undang tersebut akan menempatkan Hong Kong setara dengan pasar keuangan utama di London dan New York.
“Bisnis akan mengalir ke tempat di mana ada peluang. Hong Kong masih merupakan batu loncatan terbaik ke Greater Bay Area,” ucapnya beralasan.
Chan juga tidak sependapat jika undang-undang itu dinilai meningkatkan risiko campur tangan politik dalam bisnis.
Para analis sebelumnya memperingatkan tentang bermunculannya tangan-tangan politik dalam bisnis setelah Amerika Serikat dan para investor menuding bank asal Inggris, HSBC dan Standard Chartered, telah tunduk kepada Beijing dengan mendukung undang-undang tersebut.
“Risiko-risiko politik mungkin sebenarnya akan menjadi lebih kecil karena undang-undang itu bermaksud melarang Hong Kong menjadi basis untuk kegiatan-kegiatan subversif,” jawabnya.
Aktivitas pertukaran mata uang tampak mengalir deras di banyak tempat penukaran mata uang asing sejak pemerintah China mengumumkan rencana pemberlakuan undang-undang itu.
“Dapat dimengerti bahwa masyarakat umum merasa cemas karena mereka terpengaruh berita tersebut. Tapi, alih-alih arus modal keluar, kita telah melihat arus masuk yang begitu kuat pada beberapa kesempatan sampai Otoritas Moneter harus campur tangan,” tutur Chan.
Aliran dana terus masuk ke Hong Kong dalam tiga bulan terakhir dari pasar saham Shanghai dan Shenzhen melalui skema penghubung saham. Pada Mei, transaksi tersebut menyumbang 8,66 persen dari omset pasar saham Hong Kong, setelah mencatat 8,17 persen pada April dan 9,13 persen pada Maret.
Masuknya modal begitu kuat sehingga bank sentral Hong Kong, Otoritas Moneter Hong Kong (HKMA), melakukan intervensi sebanyak dua kali pada 5 Juni.
Pada pagi hari, HKMA menghabiskan HK$1 miliar untuk membeli mata uang AS, kemudian membeli dolar AS senilai HK$3,88 miliar pada sore harinya guna menstabilkan nilai tukar di bawah HK$7,75000 per dolar AS.
Chan mengatakan sektor perbankan dan private wealth management memang menerima permintaan klien untuk membuka rekening bank di luar negeri, tetapi jumlah permintaan seperti itu lebih sedikit daripada yang diterima selama periode aksi protes tahun lalu.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Michael Pompeo mengkritik HSBC Holdings Plc karena mendukung memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong yang diprakarsai China.
Kritik ini menambah tekanan politik pada perusahaan multinasional yang bergantung pada wilayah bekas jajahan Inggris tersebut.
Dilansir dari Bloomberg, Pompeo menuduh raksasa perbankan yang bermarkas di London itu dalam sebuah pernyataan Selasa karena terlibat dalam strategi penindasan Partai Komunis China (PKC) yang memaksa terhadap Inggris. UU Keamanan Hong Kong ini juga kian memanaskan hubungan China dan Inggris.