Bisnis.com, JAKARTA - Jepang akan merilis stimulus ekonomi lanjutan senilai lebih dari US$1 triliun untuk menjaga bisnis dan rumah tangga tetap bertahan di tengah resesi virus Corona yang semakin dalam.
Dilansir Bloomberg, Rabu (27/5/2020), menurut sebuah dokumen pemerintah, paket sebesar 117 triliun yen (US$1,1 triliun) itu termasuk jaminan pinjaman dan kontribusi sektor swasta senilai 31,9 triliun yen.
Selain itu, 11,6 triliun yen untuk pembiayaan bisnis, 2 triliun yen pada subsidi untuk membantu perusahaan membayar sewa dan beberapa triliun yen untuk bantuan perawatan kesehatan dan dukungan untuk ekonomi lokal.
Bantuan itu sekaligus mengkonfirmasi bahwa ekonomi Jepang telah jatuh ke resesi yang dalam. Jajak pendapat menunjukkan dukungan untuk kabinet Perdana Menteri Shinzo Abe turun ke rekor terendah atas penanganan wabah.
Sementara itu pemerintah pada Senin lalu mengangkat status darurat nasional seiring kasus-kasus virus baru yang melandai. Namun, prospek ekonomi masih suram.
Analis melihat produk domestik bruto menyusut lebih dari 20 persen pada kuartal ini dan mengatakan pemulihan bisa lambat karena ekspor, pariwisata dan investasi bisnis masih berjuang untuk pulih.
Baca Juga
Abe mengatakan Jepang akan mengatasi pandemi dengan meningkatkan respons stimulus terbesar di dunia. Dia menjanjikan langkah-langkah baru dengan dukungan hingga lebih dari 200 triliun yen, jumlah yang setara dengan sekitar 40 persen dari PDB.
Dalam sebuah pernyataan bersama minggu lalu, pemerintah dan bank sentral menjanjikan kerja sama yang erat untuk mendapatkan dana bagi bisnis yang kesulitan dan melindungi ekonomi.
Gubernur Bank of Japan Haruhiko Kuroda mengatakan kepada parlemen bahwa pihaknya akan membeli lebih banyak utang pemerintah jika kurva imbal hasil perlu diturunkan.
Parlemen diperkirakan akan melewati pengeluaran baru sebelum sesi saat ini dijadwalkan berakhir 17 Juni.
"Bahkan dalam skenario optimistis, utang dapat meledak jauh di atas 250 persen dari PDB. Dengan Bank of Japan menjaga kendali atas imbal hasil obligasi, kami melihat sedikit kemungkinan pasar akan marah dalam waktu dekat. Semakin lama Jepang terus mengalami utang, semakin besar risiko terhadap keberlanjutan," kata Yuki Masujima, Ekonom Bloomberg.