Bisnis.com, JAKARTA - Draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme dinilai akan memberikan kewenangan yang berlebihan terhadap TNI. Hal ini juga berpotensi memicu pelanggaran HAM dan demokrasi.
Hal tersebut merupakan inti dari petisi yang dilayangkan oleh sejumlah tokoh masyarakat dan koalisi masyarakat sipil. Beberapa tokoh yang menandatangani petisi ini diantaranya adalah Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Periode 2015-2019 Laode M. Syarief, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, dan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo.
Menurut petisi tersebut, pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam rancangan perpres yang ada terlalu berlebihan. Hal ini akan mengganggu mekanisme criminal justice sistem, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan peraturan tersebut sangat luas. Pada Pasal 3 draft Perpres itu, TNI dapat menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya. Sementara itu, Perpres ini tidak merinci lebih jauh terkait dengan frasa “operasi lainnya”.
"Dengan Pasal ini,TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia," demikian kutipan petisi tersebut yang dikeluarkan Rabu (27/5/2020).
Selain itu, pemberian kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme ini juga tidak dibarengi dengan kejelasan mekanisme akuntabilitas pada sistem peradilan umum. Hal ini akan membahayakan hak-hak warga. sehingga
Selain itu, pola penanganan terorisme dengan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI pada draft peraturan ini akan membuka ruang dan potensi kerusakan yang tidak diinginkan (collateral damage) yang tinggi, cenderung represif, dan meningkatkan stigmatisasi sehingga turut menjadi ancaman serius dan meningkatkan potensi terjadinya pelanggaran HAM dan demokrasi di Indonesia.
Koalisi tersebut juga menilai, rancangan Perpres akan mengganggu mekanisme criminal justice system dalam penanganan terorisme di Indonesia. Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri.
"Hal ini tidak sejalan dengan hakikat dibentuknya militer (raison d’etre) sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum," demikian kutipan petisi tersebut.
Selain itu, dengan adanya tugas penangkalan dan penindakan yang bersifat mandiri kepada TNI juga akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara militer dengan kelembagaan negara lainnya. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merupakan aparat penegak hukum dan lembaga intelijen negara yang dikategorikan sebagai leading sector pada bidang ini.
Hal ini akan membuat penanganan terorisme menjadi tidak efektif karena terjadi tumpang tindih fungsi dan tugas antar kelembagaan negara. Untuk itu, koalisi tersebut mendesak DPR agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draft Perpres tersebut. Di sisi lain, Presiden Joko Widodo juga perlu berhati-hati dalam membuat peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme.
"Bila peraturan ini tidak dibuat dengan benar, justru akan menjadi cek kosong bagi militer dalam mengatasi terorisme di Indonesia dan akan memundurkan jalannya reformasi TNI sendiri serta kehidupan demokrasi di Indonesia," demikian kutipan petisi tersebut.