Bisnis.com, JAKARTA - Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia jelas sangat besar.
Pertumbuhan ekonomi kuartal 1/2020 anjlok drastis ke 2,97 persen. Padahal pada 30 April 2020 di depan Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan memperkirakan pertumbuhan kuartal 1/2020 masih 4,5 persen-4,7 persen. Bank Indonesia memperkirakan 4,3 persen.
Saya tidak kaget dengan rendahnya pertumbuhan tersebut. Sering saya sampaikan, tanpa pandemi pun perekonomian Indonesia tahun 2020 cenderung melemah. Pandemi Covid-19 memperburuk pelemahan tersebut.
Padahal, pemerintah sangat memprioritaskan ekonomi. Karena itu tidak heran jika wacana berdamai dengan corona dan pelonggaran PSBB muncul.
Dari sisi ekonomi serta kebutuhan rakyat bekerja, kita tentu ingin bisnis dan ekonomi kembali bergerak. Masalahnya, apakah data Covid-19 mendukung pelonggaran tersebut?
Saya mengumpulkan data harian kasus positif Covid-19 untuk periode 2 Maret - 17 Mei 2020. Meski saya yakin jumlah kasus positif yang riil jauh di atas data resmi, tapi kita pakai yang resmi saja.
Saya lakukan analisis sederhana, memakai moving average (MA) untuk Indonesia dan DKI Jakarta. MA ini banyak dipakai di pasar keuangan. Tujuannya untuk “menghaluskan” fluktuasi jangka pendek dari data dan sekaligus mempertajam tren atau siklus jangka panjang. MA ini makanan sehari-hari bagi analis pasar.
Saya menghitung SMA (simple moving average) dan EMA (exponential moving average). Periode yang dipakai adalah 5 dan 14 hari. Alasannya, masa inkubasi rata-rata SARS-COV-2 sekitar 5 hari dan periode isolasi yang disarankan adalah 14 hari. EMA biasanya lebih kuat dibandingkan SMA.
Kurva MA bisa memberi intuisi, apakah tren kasus ke depan cenderung naik, landai atau malah turun. Dia baru memberi gambaran sangat awal, apakah pelonggaran layak dipertimbangkan. Baru dipertimbangkan lho ya.
Kenapa? Karena ada indikator yang lebih penting diketahui. Yaitu, bilangan reproduksi dasar atau bilangan reproduksi efektif. Jika anda menonton film Contagion, indikator bersimbol Ro dan Re (atau Rt) ini muncul di sana, meski kurang akurat.
R ini bahasa gampangnya menunjukkan, berapa banyak orang yang tertular dari satu orang yang terinfeksi sebelumnya, di dalam populasi yang rentan tertular (susceptible).
Di Hongkong, R dihitung harian dan ditampilkan live. Di Jerman, R menjadi acuan pemerintah untuk melonggarkan lockdown atau tidak. R nya dihitung oleh Robert Koch Institute.
Entah mengapa Gugus Tugas Covid-19 tidak menyajikan estimasi R harian. Saya usahakan semampunya supaya angka ini ada.
Dari analisis MA, terlihat jelas kurva jumlah kasus positif covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda melandai, apalagi turun.
Untuk Indonesia, baik rata-rata 5 harian maupun 14 harian, kurvanya masih “mendongak”. Trennya naik. Ini baik dari SMA maupun EMA. Adanya “kail” di ujung kurva EMA-5 hari tidak bisa ditafsirkan terlalu banyak, apalagi “kail” itu pada saat kurva masih tinggi.
Untuk DKI, tanda-tanda melandai sudah muncul, tapi masih “goyang”. Kondisi ini sama dengan 4 hari lalu ketika saya melakukan analisis hingga 13 Mei. Mungkin dalam 7-14 hari ke depan kita baru bisa yakini trennya.
Jadi, data nasional sama sekali tidak mendukung pelonggaran PSBB dalam waktu dekat ini. Sementara untuk DKI, kita harus lihat dulu data beberapa hari ke depan.
Itu baru gambaran awal. Tanpa perkembangan harian R, kita hanya meraba-raba di kegelapan. Untuk pelonggaran, R harus kurang dari satu. Artinya penyebaran virus relatif terkendali.
Setelah R diketahui, kita juga harus punya protokol baru. Itu yang disebut the New Normal.
Protokol ini harus spesifik. Misalnya, bagaimana aturan jaga jarak di Pasar Tanah Abang, restoran dan kafe, supermarket, tukang cukur, ojol, kaki lima hingga pasar tradisional. Mulai dari retail hingga penerbangan, perhotelan, jasa keuangan dan sebagainya. Mulai dari bisnis hingga sosial dan agama, termasuk di rumah ibadah.
Semua aturan ini punya konsekuensi keuangan. Ojol misalnya, apa boleh membawa penumpang? Ojol tanpa penumpang jelas “ambyar”. Jika boleh, apa penumpangnya harus bawa helm sendiri? Risiko penularan virusnya tinggi jika helm dipakai bergantian.
Jika kita tergesa-gesa dan tidak disiplin dengan PSBB, saya khawatir penyebaran SARS-CoV-2 akan semakin meledak. Tanpa ledakan lanjutan kasus Covid-19 saja, tekanan ekonomi sudah amat sangat berat.
Yang penting diingat, kepercayaan investor dan pebisnis global kepada Indonesia sangat tergantung apakah kita dinilai sanggup mengendalikan pandemi atau tidak.
Perlu dicatat juga, Jepang sudah masuk resesi secara teknikal. Pertumbuhannya minus 0,9 persen untuk Januari-Maret 2020, atau 3,4 persen tahunan. Pada kuartal IV/2019 ekonomi Jepang terkontraksi 7,3 persen secara tahunan (hasil revisi). Jepang adalah perekonomian terbesar ketiga di dunia.
Intinya, kita perlu hati-hati, ilmiah dan matang persiapannya sebelum melonggarkan PSBB. Agar, pandemi Covid-19 tidak meledak lagi, yang justru makin tinggi daya rusaknya terhadap sektor kesehatan, ekonomi dan kehidupan bangsa keseluruhan.