Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Covid-19 dan Jaminan Sosial

Jaminan sosial yang dimiliki pemerintah sejauh ini tak bisa menyelamatkan warga negara miskin pada saat krisis seperti sekarang.
Warga mengorder ojek online di Jakarta. Bisnis/Abdurahman
Warga mengorder ojek online di Jakarta. Bisnis/Abdurahman

Penyebaran Covid-19 menakutkan, karena daya penularannya begitu cepat melalui interaksi langsung, bersin, batuk dan sentuhan benda fisik. Covid-19 menyebabkan kematian ribuan orang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Memasuki bulan April ini angka positif Covid-19 di 204 negara dunia sudah di atas 1 juta kasus dengan angka kematian mencapai ratusan ribu orang. Sementara di Indonesia, jumlah positif Covid-19 sudah ribuan kasus dan ratusan orang meninggal.

Ini mengerikan. Segala aktivitas manusia dihentikan dan kehidupan sosial, politik dan ekonomi menjadi lumpuh.

Namun, dibalik ketakutan itu, ternyata masih banyak warga negara yang bekerja tanpa rasa takut. Covid-19 memang menakutkan, namun mau tak mau mereka harus berjibaku melawan ketakutan agar bisa bertahan hidup (survive). Mereka adalah masyarakat yang tak memiliki penghasilan tetap setiap bulan, tukang ojek, para penjual jajan di jalan-jalan ibu kota, pedagang tradisional di pasar.

Pemerintah memang memerintahkan social distancing dan sekarang Pembatasan Sosial Berskala Besar (jaga jarak), bekerja dari rumah dan meliburkan lembaga-lembaga pendidikan.  Namun, mereka tetap bekerja. Mereka harus bekerja di pasar, mencari penumpang bagi ojek online agar mereka masih bisa makan setiap hari.

Mereka masih rela berdempetan di transportasi umum, seperti Kereta Api, dan TransJakarta, tanpa jaga jarak. Mereka tak dibekali pelindung diri, tanpa masker, sarung tangan, hand sanitizer, karena mahal. Apalagi membeli obat-obat di apotek, seperti vitamin yang mendadak naik selama Covid-19.

Mereka-meraka inilah masyarakat yang rentan. Rentan menjadi miskin dan rentan terserang virus.

Ini juga yang menjadi penyebab mengapa kebijakan social distancing pemerintah tak terlalu efektif menangkal penyebaran Covid-19.

JARING PENGAMAN SOSIAL

Ekonom J. Stiglitz dalam buku Globalization and Its Discontents (2002) menulis kelemahan mendasar pemerintahan di bawah rezim kapitalisme global adalah tak menyediakan jaminan sosial bagi warganya. Jaminan sosial, berupa asuransi bagi para pekerja, asuransi pensiunan dan asuransi keselamatan bagi pekerja informal.

Di negara-negara maju, seperti di Eropa, kata Stiglitz, asuransi bagi pekerja, penganggur dan lanjut usia sangat memadai. Dengan begitu, jika ada krisis baik resesi keuangan global maupun krisis karena Covid-19 seperti sekarang, warga negaranya sudah dibekali safetynet, sehingga mereka tak kesulitan.

Di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini, negara-negara Eropa tak kesulitan melakukan lockdown nasional demi menyelamatkan warga negara.

Di Jerman dengan Ekonomi Pasar Sosial (EPS), peran dinas sosial sangat sentral memberikan jaminan kesejahteraan bagi warga negara. Dinas sosial sudah mengetahui tanggung jawabnya memberikan jaminan bagi warga tak mampu. Jika ada warga negara tak mampu dalam krisis seperti ini, diklaim ke dinas sosial.

Respons akan datang dengan cepat. Dalam EPS, pegawai tidak hanya menikmati gaji lebih baik, tetapi menikmati jaminan sosial, sistem pendidikan, jaminan kesehatan dan jaminan pensiun lebih baik. Konsep EPS merupakan konsep yang menghargai kesetaraan dan keadilan sosial.

Di Indonesia, Jokowi memang sudah memiliki anggaran jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Ada juga kartu sakti, seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar.

Namun, BPJS di Indonesia tak ditangani dengan baik. Utang menggunung. Ironisnya, BPJS jatuh defisit, sementara perusahaan-perusahaan penyedia obata-obatan, seperti perusahaan farmasi menikmati untung luar biasa dari penjualan obat, termasuk ke BPJS. Rakyat kecil, seperti ojek online, pedagang di pasar dan pekerja informal yang tak memiliki pendapatan per bulan kesulitan membayar premi.

Singkatnya, jaminan sosial Jokowi tak bisa menyelamatkan warga negara miskin pada saat krisis seperti sekarang.

Kemiskinan Ibu Kota DKI Jakarta
Kemiskinan Ibu Kota DKI Jakarta

Warga beraktivitas di kawasan permukiman padat penduduk, di bantaran Kali Krukut Bawah, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta, Jumat (20/7/2018)./ANTARA-Aprillio Akbar

Lebih ironis lagi, kerja dari Kementerian Sosial di Indonesia hanya membagi-bagi bantuan sosial untuk kepentingan Partai Politik. Banyak informasi menyebut, kerja orang-orang di kementerian sosial mendata satu per satu anggota DPR dari Partai Politik tertentu untuk mendapat jatah pembagian bantuan sosial ke daerah pemilihan politisi bersangkutan.

Ini sungguh tak adil. Presiden harus membuka mata. Jika memang kementerian sosial berfungsi memberikan jaminan sosial kepada warga negara, menterinya jangan dari Partai Politik, karena rentan diselewengkan demi mendulang suara.

Akibatnya, warga negara yang seharusnya mendapat bantuan sosial pada kondisi kritis seperti sekarang tak kebagian. Risikonya, sistem jaminan sosial bagi warga miskin tak pernah dikelola secara profesional dan hanya untuk tujuan jangka pendek.

Untuk mengantisipasi krisis karena Covid-19, Presiden Jokowi sudah mengeluarkan jurus-jurus penyelamatan melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan penundaan cicilan kendaraan bermotor bagi pekerja-pekerja informal.

Untuk jaminan sosial dan BLT, Jokowi menganggarkan Rp110 trilun dari kas negara. Kelompok-kelompok yang mendapat bantuan itu seperti ojek online, pedagang warung dan toko kecil, pedagang pasar dan pekerja harian di pusat perbelanjaan. Mereka adalah warga yang rentan tertular virus, rentan menjadi miskin dan sulit untuk bangkit.

Warga miskin yang tak berdaya inilah yang oleh ekonom Jeffrey Such (2006) disebut sebagai poverty trap alias jebakan kemiskinan. Sekuat apapun bekerja, warga miskin tetap hidup dalam kubangan kemiskinan dan tak berdaya.

Warga seperti ini rentan dengan krisis. Jika ada krisis, mereka menjadi sangat miskin dan tak berdaya. Maka, butuh tangan negara membantu mereka agar mereka bangkit. Dalam konteks bantuan Covid-19, bantuan bagi warga miskin penting untuk jangka pendek.

Pemerintah harus menyelamatkan kehidupan warga negara yang rentan. Dengan bekal seperti itu, mereka diharapkan dapat menjalankan social distancing, berhenti sejenak beraktivitas agar penyebaran Covid-19 bisa dijinakan.

Hanya saja untuk para pedagang di pasar, khusus yang menjual bahan-bahan pokok, tetapi menjalankan aktivitas hanya tidak full time, karena rakyat masih membutuhkan logistik dan konsumsi rumah tangga setiap hari.

Tinggal bagaimana pemerintah memikirkan agar mereka diberikan pengaman, berupa masker, sarung tangan, penyemprotan disinfectant setiap hari secara rutin untuk menghindari penularan virus. Pemerintah perlu menjamin pengaman bagi petugas kesehatan.

Jika pengaman langkah, pemerintah perlu memobilisasi dunia industri berpartisipasi menghadapi Covid -19, seperti memproduksi massal alat pelindung diri (APD) bagi petugas kesehatan dan kebutuhan pokok. Risikonya, pemerintah melakukan payback terhadap pengorbanan dunia industri, berupa keringanan pajak dan insentif lain.

Di Indonesia usia lanjut banyak yang masih berada di bawah garis kemiskinan dan masih bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Maka, perlu dibantu.

* Penulis adalah Peneliti Pada Alpha Research Database, Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ferdy Hasiman
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper