Bisnis.com, JAKARTA - Hingga Mahkamah Agung menjatuhkan vonis lepas, eks-direktur utama PT Pertamina Karen Agustiawan belum pernah menjalani penahanan di Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu Jakarta.
Hal itu diakui pihak Kejaksaan Agung. Kejagung menjelaskan mengapa selama ini belum melakukan eksekusi badan (penahanan) terhadap Karen Galaila Agustiawan dengan mengirimnya ke Lapas Perempuan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengungkapkan Karen Agustiawan belum dieksekusi ke Lapas Perempuan karena pihak penasihat hukum masih mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Hal itu membuat putusan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih belum berkekuatan hukum tetap (Inkracht).
"Jadi alasan tim JPU masih belum mengeksekusi yang bersangkutan karena dia masih melakukan upaya hukum banding hingga kasasi, jadi belum inkracht," tutur Hari di Kejaksaan Agung, Selasa (10/3/2020).
Sementara itu, Kuasa Hukum Karen Agustiawan, Susilo Ariwibowo mengemukakan jika pihaknya kalah pada saat kasasi, maka kliennya baru dapat dieksekusi ke Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu Jakarta oleh JPU.
"Kan putusannya masih belum inkracht, jadi belum dieksekusi. Itu ada aturannya di Kemenkumham," kata Susilo.
Baca Juga
Susilo juga menjelaskan sejak perkara dugaan tindak pidana korupsi investasi perusahaan Blok Baster Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009 masuk ke tahap penyidikan hingga saat ini, Karen Agustiawan telah menjalani penahanan di Rutan Salemba cabang Kejagung.
"Total sudah 1,5 tahun Bu Karen menjalani proses penahanan," ujar Susilo.
Seperti diketahui Mahkamah Agung telah menjatuhkan vonis lepas terhadap eks-Direktur Utama PT Pertamina Karen Galaila Agustiawan.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, menjelaskan bahwa Karen Agustiawan disebut tidak melakukan perbuatan tindak pidana dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi investasi perusahaan di Blok Baster Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009.
Menurut Abdullah, dalam perkara tersebut, Karen Agustiawan hanya menjalankan keputusan yang ada di rapat direksi bersama para pimpinan PT Pertamina (Persero) lainnya.
"Jadi dia hanya menjalankan hasil rapat direksi ya. Itu tidak masuk kategori pidana. Kecuali kalau dia tidak menjalankan hasil rapat itu, bisa disebut sebagai pidana," tuturnya kepada Bisnis melalui sambungan telepon, Selasa (10/3/2020).
Awal Kasus
Kasus yang menjerat Karen terjadi pada 2009. Saat itu Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG.
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase-BMG Project diteken pada 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai US$31 juta.
Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp568 miliar Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga 812 barrel per hari.
Ternyata Blok BMG hanya dapat bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksinya.
Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.
Hasil penyidikan Kejagung menemukan ada dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris. Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara cq Pertamina sebesar US$31 juta dan US$ 26 juta atau setara Rp568 miliar.