Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) menanggapi penahanan dua mantan Direktur Gas Pertamina oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada perkara korupsi pengadaan gas alam cair atau LNG 2013-2020.
Dua mantan Direktur Gas Pertamina itu, Hari Karyuliarto dan Yenni Andayani, adalah bekas anak buah dari Direktur Utama Pertamina 2009-2014, Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan. Keduanya ditahan untuk 20 hari pertama sejak Kamis (31/7/2025).
Melalui keterangan tertulis, perseroan menghormati proses hukum yang tengah berjalan di KPK.
"Kami juga menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum dan berharap proses hukum dapat berjalan dengan baik," ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso, dikutip Jumat (1/8/2025).
Selain itu, perseroan memastikan operasional perusahaan dan pelayanan energi kepada masyarakat tetap berjalan seperti biasa.
Sebelumnya, KPK menahan Hari Karyuliarto dan Yenni Andayani, Kamis (31/7/2025). Hari sebelumnya menjabat Direktur Gas Pertamina 2012-2014, sedangkan Yenni memegang jabatan Senior Vice President Gas and Power Pertamina 2013-2014 sekaligus Direktur Gas Pertamina 2015-2018.
Baca Juga
Hari ditahan di Rutan KPK Cabang Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, sedangkan Yenni di Cabang Gedung Merah Putih.
Keduanya diduga berperan dalam pembelian atau impor LNG dari pemasok Corpus Christie Liquefaction (CCL), yang merupakan anak usaha perusahaan energi Amerika Serikat (AS) yang terdaftar di Bursa New York, Cheniere Energy, Inc.
Pengadaan itu merugikan keuangan negara sebesar US$113.839.186,60 atau setara sekitar Rp1,8 triliun.
"Bahwa Tersangka HK dan YA diduga memberikan persetujuan pengadaan LNG Import tanpa adanya pedoman pengadaan; memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi dan analisa secara teknis dan ekonomi," jelas Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Kamis (31/7/2025).
Berdasarkan konstruksi perkaranya, pembelian LNG impor dari CCL dilakukan dengan penandatangan kontrak pembelian tahun 2013 dan 2014, yang selanjutnya kedua kontrak digabungkan menjadi satu kontrak pada 2015.
Jangka waktu kontrak pembelian yang diteken yaitu selama 20 tahun, dan pengiriman pasokan gas alam cair itu untuk periode 2019-2039. Artinya, kontrak pembelian untuk 20 tahun dan saat ini masih berjalan.
"Nilai kontrak kurang lebih dari US$12 miliar tergantung harga gas. [Kontrak pembelian] berjalan sampai dengan sekarang," ungkap Asep.
Selain diduga memberikan persetujuan tanpa pedoman pengadaan maupun izin prinsip, Hari dan Yenni bersama-sama Karen diduga mengadakan impor LNG itu tanpa 'back to back' kontrak di dalam negeri, atau dengan pihak lain sehingga LNG yang diimpor tersebut tidak punya kepastian pembeli dan pemakainya.
"Jadi membeli impor LNG tapi belum jelas siapa konsumennya. Seharusnya sudah jelas, sudah bisa diprediksi keuntungannya. Faktanya LNG tidak pernah masuk dan harganya lebih mahal dari produk gas di Indonesia," terang Asep.
Selain itu, lembaga antirasuah menduga bahwa pembelian LNG dari CCL itu tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian ESDM.
Hal itu lantaran diduga berimplikasi pada iklim bisnis migas di dalam negeri. Saat ini, Indonesia tengah mengembangkan sejumlah blok migas seperti Masela, Andaman, Teluk Bintuni, serta sejumlah blok di Kalimantan.
Di luar itu, penyidik turut mengendus dugaan kedua tersangka sengaja melakukan impor LNG itu tanpa persetujuan RUPS dan Komisaris, serta memalsukan dokumen persetujuan direksi Pertamina.
Kedua tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau 3 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya, KPK telah menyeret mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan ke persidangan atas perkara tersebut. Karena akhirnya dijatuhi vonis pidana penjara 9 tahun dan denda Rp500 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Namun, Karen tidak dibebani uang pengganti kerugian negara US$113,83 juta. Hakim menyatakan uang pengganti itu dibebankan ke CCL.
Pada tingkat kasasi, Majelis Hakim justru memperberat hukuman Karen menjadi 13 tahun penjara.
"Tolak, Perbaikan kualifikasi dan pidana, terbukti pasal 3 TPK [UU Tindak Pidana Korupsi] jo Pasal 55 jo pasal 64, pidana penjara 13 tahun," demikian dikutip dari situs resmi MA, Sabtu (1/3/2025).
Selain pidana badan, Majelis Hakim Kasasi turut memperberat pidana denda yang dijatuhkan ke Direktur Utama Pertamina 2009-2014 itu. Total hukuman denda yang dijatuhkan kepadanya yakni Rp650 juta subsidair 6 bulan kurungan.