Bisnis.com, JAKARTA - Taiwan pada awalnya diprediksi berisiko tersebar wabah virus corona (COVID-19) paling besar kedua setelah Thailand karena secara geografis paling dekat dengan China.
Prediksi itu berdasarkan laporan dari The Center for Systems Science and Engineering (CSSE) Universitas Johns Hopkins. Namun, jumlah kasus domestik di Taiwan ternyata jauh lebih sedikit dibanding jumlah kasus di negara maju lainnya.
Dalam siaran pers Taipei Economic and Trade Office (TETO), Senin (9/3/2020), menyatakan bahwa sebuah jurnal medis Amerika—Journal of American Medical Association (JAMA)—menerbitkan sebuah makalah yang menjelaskan hasil pencegahan epidemi Taiwan yang bertajuk " Response to COVID-19 in Taiwan—Big Data Analytics, New Technology, and Proactive Testing".
Artikel ini mengapresiasi pemerintah Taiwan yang sigap dengan mengambil tindakan pencegahan virus corona lebih awal, dapat mengonfirmasi krisis sedini mungkin, dan mengadakan konferensi pers harian untuk melaporkan kepada publik, serta menyampaikan pesan-pesan sederhana dan jelas.
Taiwan juga diacungi jempol dalam mengintegrasi data asuransi kesehatan, departemen imigrasi dan data bea cukai ke dalam analisis data besar, memungkinkan klinik dan rumah sakit dengan cepat memperoleh riwayat perjalanan pasien dari kartu asuransi kesehatan masyarakat untuk membantu dalam pencegahan epidemi.
Selain itu, sistem karantina imigrasi elektronik Taiwan menggunakan teknologi baru seperti notifikasi online dan kode QR untuk membantu mengklasifikasikan risiko infeksi manusia dan membersihkan area antrean penumpang di imigrasi dengan cepat.
Baca Juga
Taiwan juga telah membuat hotline notifikasi gratis untuk secara proaktif memperluas karantina komunitas. Artikel ini diakhiri dengan menekankan bahwa ketika virus corona menghantam seluruh dunia, kebijakan Taiwan tentang pencegahan epidemi cukup konstruktif untuk berfungsi sebagai cerminan bagi negara-negara lain.