Bisnis.com, MESIR - Hosni Mubarak, penguasa terlama Mesir meninggal di usia 91 tahun.
Kepergian Mubarak diumumkan Selasa oleh media pemerintah. Pihak kepresiden menggambarkan Mubarak sebagai sebagai pahlawan perang negara saat Mesir bertempur melawan Israel pada 1973.
Tidak diketahui penyebab kematian mantan penguasa yang dijuluki sebagai Firaun oleh para lawan politiknya. Sebelumnya, pada Januari, pihak keluarga mengatakan bahwa Mubarak akan menjalani operasi dan dirawat di rumah sakit.
Mubarak berkuasa di Mesir selama 30 tahun. Dia telah mempersiapkan putra bungsunya Gamal sebagai penggantinya. Namun rencana itu berantakan ketika gerakan Arab Spring menjalar ke Kairo pada Januari 2011. Setelah 18 hari protes massa, Mubarak terusir dari kursi kekuasaan. Citranya sebagai penguasa yang sangat kuat pun tercoreng.
Pernyataan pihak kepresidenan dan pernyataan lain dari angkatan bersenjata sangat kontras dengan respons pemerintahan Presiden Abdel-Fattah El-Sisi atas kematian pengganti Mubarak, Mohamed Mursi, tahun lalu.
Karier Militer
Baca Juga
Mohammed Hosni Said Mubarak lahir pada 4 Mei 1928, di Kafr El Meselha di Delta Nil. Mubarak muda memilih karier militer ketika Mesir masih monarki. Mubarak bergabung dengan Akademi Angkatan Udara pada 1950. Empat tahun kemudian, Raja Farouk digulingkan dalam kudeta yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser.
Pada 1964, Mubarak ditunjuk sebagai kepala delegasi militer Mesir ke Uni Soviet, satu-satunya pemasok senjata bagi rezim Nasser. Dari 1967 hingga 1972, Mubarak menjabat sebagai kepala staf angkatan udara, menjadi wakil menteri untuk urusan militer dan dipromosikan menjadi marsekal setelah perang Arab-Israel Oktober 1973.
Setelah kematian Nasser, Mesir dipimpin Presiden Anwar Sadat. Di era Sadat, Hosni Mubarak ditunjuk sebagai wakil presiden pada April 1975, Mubarak pun tampil sebagai pewaris kekuasaan jika suatu saat Sadat mundur. Penembakan terhadap Anwar Sadat pada 6 Oktober 1981 saat parade tahunan yang menandai peringatan perang tahun 1973 mempercepat proses suksesi. Sadat terbunuh sedangkan Mubarak, yang duduk di sebelahnya, menyelamatkan diri dengan luka di tangan.
Mubarak kemudian menindak kelompok-kelompok kekerasan dan memerintah dengan gaya tertutup, kaku, kontras dengan era kepemimpinan Sadat.
"Memiliki Sadat sebagai presiden seperti menikah dengan Miss World," ujar Layla Takla, anggota oposisi parlemen, menggambarkan situasi saat itu. "Itu bagus untuk sementara waktu, tetapi kemudian kamu membutuhkan seseorang untuk memasak dan menjaga anak-anak," kritiknya pedas.
Menekan para pesaing
Mubarak menyediakan ruang untuk perbedaan pendapat - dalam garis merah spesifik yang tidak memasukkan kritik terhadap keluarganya - namun ia gagal memenuhi janji untuk membuat sistem politik yang terbuka.
Penindasan terhadap berbagai pesaing, di bawah undang-undang darurat yang diundangkan pada tahun 1981, menandai tahun-tahun kekuasaannya dan membantu memicu ketidakpuasan yang menyebabkan kejatuhannya.
Akhir 1980-an Mesir berada di ambang kebangkrutan. Mesir tak sangggup membayar utang luar negerinya. Kreditor setuju untuk menghapus utang Mesir setelah Mubarak mengirim pasukan sebagai bagian dari koalisi yang dipimpin AS, untuk mengusir pasukan Irak dari Kuwait pada 1990.
Pada 2004, Mubarak menyetujui penjualan aset negara. Pada 2009, ia menarik lebih dari $40 miliar investasi asing langsung di industri seperti minyak dan gas, dan telekomunikasi. Emirates Telecom Corp dan bank Italia Intesa Sanpaolo SpA tertarik menanamkan modal di negara itu.
Tak Tersentuh
Para kritikus menilai Mubarak tidak bersentuhan dengan kehidupan sebagian besar orang Mesir - merangkul kaum elit sementara kaum miskin dibiarkan bergulat dengan tingkat inflasi yang mencapai lebih dari 20 persen pada tahun 2008. Pendukungnya menyalahkan pertumbuhan populasi yang eksplosif dan salah urus ekonomi pemerintah masa lalu atas kondisi masyarakat hingga angka kemiskinan berpuncak menjadi 85 juta orang saat Mubarak terguling.
Produk domestik bruto per kapita Mesir pada 2009 adalah $2.160, hampir sama dengan PDB dekade sebelumnya sebesar $2.155, berdasar data Dana Moneter Internasional, IMF.
Mubarak tidak pernah mundur dari kebijakan pemulihan hubungan diplomatik Mesir dengan Israel, meskipun satu-satunya kunjungan dia ke negara Yahudi itu adalah saat pemakaman Perdana Menteri Israel yang dibunuh Yitzhak Rabin pada 1995. Mubarak berhasil memulihkan hubungan dengan sesama penguasa Arab yang marah atas keputusan Sadat menandatangani perjanjian damai dengan Israel.
"Tidak ada di antara kita yang ingin membawa wilayah itu kembali ke kehancuran perang atau ke fase tidak ada perang dan tidak ada perdamaian," kata Mubarak kepada para pemimpin Arab pada 1996. "Kami dengan tulus bertekad untuk memperjuangkan perdamaian sampai akhir."
Aliansi Kunci
Mubarak juga mempertahankan aliansi Mesir dengan AS, yang dimulai dengan perpisahan Sadat dengan Uni Soviet. Mesir menerima sekitar $1,3 miliar per tahun dalam bentuk bantuan militer AS.
Mubarak memimpin beberapa tahun saat ekstrimisme Islam domestik berkobar di Mesir. Pada 1997, kekerasan mencapai puncaknya ketika 58 turis asing di Luxor ditembak mati. Pembantaian, yang merusak industri pariwisata Mesir, membuat banyak orang Mesir menentang kekerasan agama.
Ikhwanul Muslimin, sebuah gerakan Islamis yang telah meninggalkan kekerasan pada tahun 1970-an, memperoleh popularitas di tengah ketidakpuasan atas korupsi dan ketidaksetaraan ekonomi.
Kondisi dalam negeri Mesir menjadi sinyal peringatan bagi sekutunya. Pada September 2001, Mubarak menegur Barat karena gagal menanggapi terorisme dengan serius, memperingatkan bahwa peristiwa serius sudah dekat. Beberapa hari kemudian, pada 11 September, al-Qaeda menghantam AS.
'Gerbang Neraka'
Mubarak menentang invasi militer ke Irak yang dilakukan pasukan koalisi pimpinan AS pada 2003. Mubarak memperingatkan bahwa "gerbang neraka" akan terbuka di Timur Tengah. Dia berpendapat bahwa konflik Israel-Palestina harus ditangani sebagai langkah pertama menuju perdamaian di kawasan tersebut.
Mubarak mencoba mengakhiri pertikaian antara Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dan Hamas, gerakan Islam yang mengambil alih Jalur Gaza pada 2007. Upaya Mubarak mendapat kritik di dalam negeri dan di beberapa negara Arab karena menjaga perbatasan Gaza sebagian besar ditutup ketika Israel menutup perbatasannya dengan membentuk enclave.
Cengkeraman Mubarak yang semakin ketat pada kebebasan domestik menjadi awal kehancurannya.
Pada tahun 2005, Mubarak membuka peraturan pemilihan presiden yang bisa diikuti banyak kandidat. Namun peraturan itu sangat ketat sehingga tidak ada penantang kuat yang muncul. Pesaingnya saat itu, pengacara Ayman Nour, hanya memenangkan 7 persen suara kalau jauh dari 88 persen suara yang diraup Mubarak. Setelah pemilihan, Nour dipenjara selama empat tahun dengan tuduhan penipuan. Sebuah tuduhan yang dinilai kelompok hak asasi manusia sebagai mengada-ada.
Ilhwanul Muslimin
Dalam pemilihan akhir tahun itu, Ikhwanul Muslimin memenangkan 88 dari 454 kursi parlemen. Hasil mengejutkan itu mendorong tindakan keras terhadap aktivis Islam dan politisi sekuler anti-Mubarak, hakim, editor surat kabar, blogger dan demonstran jalanan. Ratusan aktivis Ikhwanul Muslimin ditangkap dan beberapa diadili di pengadilan militer secara tertutup.
Kejatuhan Mubarak terjadi saat koalisi partai oposisi yang tak terduga, Ikhwanul Muslimin dan, yang paling pedih, gerakan pemuda yang melakukan demonstrasi berbasis Facebook dan Twitternya yang menggerakkan aksi di jalan-jalan.
Mubarak tidak pernah secara resmi menunjuk siapa pun pengganti dirinya. Ia hanya menunjuk kepala intelijen Omar Suleiman sebagai wakil presiden pada Januari 2011 untuk meredakan protes yang meningkat. Kemunculan putranya, Gamal, meraih posisi di Partai Demokrat Nasional yang berkuasa membuat warga Mesir menduga ia akan menggantikan ayahnya.
Peralihan kekuasaan kepada Mursi yang berlangsung singkat dan berlangsungnya pemberontakan yang didukung militer di bawah mantan kepala militer El-Sisi, menurut para kritikus membuat semua itu menyeret Mesir kembali ke dalam wajah otokrasi yang dikuasai Mubarak.
Mursi meninggal pada Juni 2019, setelah pingsan saat menjalani pengadilan karena kesehatannya memburuk di penjara. Pemerintah menandai kematian Mursi dengan pernyataan singkat.
Hal itu berbeda dengan puja-puji untuk Mubarak, yang meninggalkan seorang istri, Suzanne Thabet, dan putra Gamal dan Alaa.