Bisnis.com, JAKARTA - Politik Malaysia sedang mengalami turbulensi. Pergolakan politik yang terjadi di Malaysia menambah risiko penurunan ekonomi negara tersebut yang sudah tertekan akibat gejolak global. Masyarakat juga menderita kenaikan biaya hidup akibat tekanan ekonomi yang terjadi.
Di tengah perebutan kekuasaan antara Perdana Menteri Mahathir Muhamad dan penggantinya, koalisi yang berkuasa juga runtuh, Senin 24 Februari 2020.
Ketidakpastian politik itu otomatis menghentikan kebijakan ekonomi, termasuk paket stimulus yang akan diluncurkan Mahathir pada 27 Februari 2020 untuk melawan wabah virus Corona.
Mantan Menteri Keuangan Lim Guan Eng mengatakan serangkaian insentif tersebut rencananya akan ditetapkan Mahathir sebagai Perdana Menteri sementara, minggu ini, setelah difinalisasi pada 23 Februari 2020. Sebelumnya, mantan Wakil Menteri Perdagangan Ong Kian Ming mengatakan paket itu tidak akan diumumkan pada waktunya.
"Konsekuensinya adalah bantuan bagi banyak industri yang paling terkena dampak akan diatur dalam paket stimulus yang sekarang ditunda tanpa batas waktu," kata Ong, dilansir Bloomberg, Selasa (25/2/2020).
Sebelum krisis politik pecah dan wabah menganggu perdagangan serta pariwisata, ketidakpuasan terhadap ekonomi Malaysia sudah muncul. Masyarakat mengeluhkan tingginya biaya hidup.
Baca Juga
Keluhan itu bertentangan dengan data resmi yang menunjukkan inflasi pada level terendah dalam satu dekade. Selain itu, beberapa penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa masyarakat Malaysia sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Ada banyak masalah yang mengganggu banyak orang, terutama biaya hidup, pengangguran, inflasi," kata Ahmad Martadha Mohamed, profesor pemerintahan di Universiti Utara Malaysia di negara bagian Kedah.
Menurutnya, ini adalah masalah yang saat ini tidak mendapat perhatian cukup dari pemerintah. Dia melanjutkan, kebanyakan masyarakat menemukan harga-harga di pasar naik dan menjadikan daya beli turun. Selain itu, lulusan universitas juga mengeluhkan sempitnya lapangan kerja.
Sentimen konsumen sebetulnya sudah masuk mode resesi sejak 2019, meskipun Mahathir telah menelurkan sejumlah kebijakan, antara lain menaikkan upah minimum, meluncurkan subsidi bahan bakar selimut dan menghapuskan pajak barang dan jasa.
Melemahnya pembelanjaan konsumen selanjutnya dapat merusak pertumbuhan ekonomi yang sudah berada pada tingkat terendah dalam satu dekade, dan mengikis dukungan publik untuk pemerintahan yang akan datang.
Biaya kebutuhan dasar, harga rumah yang tidak terjangkau, dan kurangnya kesempatan kerja adalah masalah terbesar warga Malaysia saat ini. Menurut survei EMIR Research, tiga persoalan ini menggantikan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi perhatian utama sebelum pemilihan 2018.
Selain itu, dalam sebuah survei yang diterbitkan Elsevier Inc pada November tahun lalu, 82,3 persen responden mengatakan biaya hidup meningkat, dengan 40 persen warga masuk kategori miskin. Dibandingkan rumah tangga sejahtera, kelompok miskin ini biasanya menghabiskan sebagian besar pendapatan bulanan untuk makanan.
Menurut laporan Bank Dunia, biaya hidup aktual bervariasi, hampir 70 persen dari pendapatan, tergantung di mana seseorang tinggal. Berdasarkan perhitungan itu, sebuah rumah tangga di pedesaan Sabah harus mengantongi sekitar 4.300 ringgit per bulan untuk mencapai standar hidup yang sama dengan 3.000 ringgit yang dibelanjakan di pedesaan Kelantan.
Adapun rumah tapak semakin tidak terjangkau bagi banyak orang Malaysia. Bank Dunia memperkirakan bahwa gaji dan upah kumulatif meningkat 59 persen dari 2010 hingga 2018, sementara harga rumah melonjak 87 persen.
Menyusul tekanan-tekanan yang mengikuti ancaman dari virus Corona , para ekonom telah menurunkan perkiraan pertumbuhan 2020 untuk Malaysia. Fitch Solutions memperkirakan pertumbuhan 3,7 persen, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,5 persen.
Sementara itu, bank sentral memangkas suku bunga acuan pada Januari 2020 dan mengisyaratkan pelonggaran lebih lanjut.
"Ketidakpastian politik menjadi pertanda buruk bagi perekonomian. Karena ukuran industri pariwisata dan hubungannya yang erat dengan rantai pasokan China, Malaysia akan menjadi salah satu negara di kawasan yang paling terpukul oleh langkah-langkah yang diambil pemerintah China untuk menahan penyebaran virus Corona," kata Gareth Leather, ekonom di Capital Economics Ltd. di London.