Bisnis.com, JAKARTA-- Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Informasi Pusat RI untuk membuka hasil audit terkait BPJS Kesehatan.
Audit tersebut dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI atas permintaan Kementerian Keuangan RI. Hasil audit tersebut kini menjadi dasar pemerintah memberikan dana talangan sebesar Rp 10,1 triliun.
Peneliti ICW, Egi Primayogha, menjelaskan ICW tengah melakukan proses sengketa informasi melawan BPKP di Komisi Informasi Pusat. Hal tersebut dilakukan karena BPKP menolak memberikan dokumen hasil audit BPKP terkait BPJS Kesehatan.
"BPKP beralasan bahwa dokumen tersebut adalah informasi yang dikecualikan berdasarkan UU no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)," jelas Egi lewat keterangan resminya seperti dikutip Bisnis, Senin (24/2/2020).
Egi berujar ICW meminta dokumen tersebut didasari alasan bahwa program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan tengah bermasalah. Apalagi, pemerintah melalui Kementerian Keuangan bahkan telah berkali-kali memberikan dana talangan dalam jumlah besar akibat defisit yang dialami.
Pada pertengahan2018, BPJS Kesehatan diproyeksikan mengalami defisit sebesar RP 10,98 triliun. Kementerian Keuangan lalu memberi dana talangan hingga RP 4,9 triliun guna menutupi defisit. Masih di tahun yang sama, defisit kembali ditemukan dengan jumlah mencapai Rp 6,12 triliun.
Baca Juga
"Untuk kedua kalinya Kementerian Keuangan lalu menyuntikkan dana talangan hingga Rp 5,2 triliun," katanya.
Adapun jumlah defisit dan yang dijadikan dasar Kementerian Keuangan untuk memberikan dana talangan sebesar Rp 10,1 triliun adalah hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPKP. Atas alasan itu pula ICW bersikukuh mengadukan BPKP ke Komisi Informasi Pusat.
Pada November 2019, pemerintah kembali menyatakan akan kembali memberi dana talangan sebesar Rp 14 triliun kepada BPJS Kesehatan. Ini dilakukan guna melunasi iuran kepesertaan pascakenaikkan dana iuran pada Agustus 2019.
"ICW mencatat sedikitnya pemerintah menyuntikkan dana talangan kepada BPJS sebesar Rp 22,1 triliun. Per akhir Desember 2019, BPJS juga masih mengalami defisit sebesar 15,5 triliun,"jelasnya.
Jumlah tersebut, lanjutnya, jelas tidak sedikit. Oleh karena itu dokumen hasil audit yang dilakukan BPKP perlu diketahui oleh publik luas. Publik sebagai pembayar pajak dan pihak yang diwajibkan mengikuti program JKN mesti mengetahui segala permasalahan yang ada dalam pengelolaannya.
Sebagai informasi, sidang sengketa informasi ICW melawan BPKP telah digelar sebanyak tiga kali. Pada persidangan kedua (5/02/20), BPKP kembali menyatakan bahwa hasil audit tersebut bersifat tertutup dengan mendasarkan pada kategori informasi dikecualikan dalam UU KIP.
Pada persidangan ketiga (12/02/20), BPKP menyebut bahwa dokumen tersebut memang bersifat terbuka. Namun, BPKP tidak berwenang memberikannya. Sidang akan dilanjut pada Kamis (12/02/20).
Menurut BPKP, yang berwenang untuk memberikan dokumen yang ICW minta adalah Kementerian Keuangan RI dengan alasan keterikatan etik untuk tidak memberikan dokumen. Ini dikarenakan Kementerian Keuangan adalah pihak yang meminta BPKP untuk melakukan audit terkait BPJS Kesehatan.
Menanggapi itu, ICW menyayangkan pernyataan pihak BPKP. Pertama, dalam persidangan sengketa informasi, BPKP tidak menyampaikan alasan kuat secara hukum yang mendasari keputusan mereka untuk tidak memberikan informasi hasil audit BPJS Kesehatan.
Kedua, dari segi etika, BPKP justru terkesan melupakan marwah dirinya sebagai pelayan publik dan semangat keterbukaan informasi. Sebagai pelayan publik, BPKP harus mendahulukan kepentingan publik dibanding hubungannya dengan instansi lain.
"BPKP semestinya adalah pihak yang meminta izin kepada Kementerian Keuangan untuk dapat memberikan dokumen hasil audit BPJS Kesehatan kepada warga. Bukan justru merepotkan warga yang memohon informasi dengan mendorongnya untuk meminta kepada Kementerian Keuangan,"paparnya.
Lebih lagi, BPKP termasuk dalam kategori badan publik yang diatur dalam UU 14/2008. Sehingga BPKP harus tunduk terhadap ketentuan dalam UU tersebut. Karenanya tidak ada alasan bagi BPKP untuk tidak memberikan informasi hasil audit yang diminta, terkecuali BPKP dapat membuktikannya melalui peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi atau setara dengan UU tersebut.