Bisnis.com, JAKARTA - Kebakaran panti asuhan di Haiti, yang dikelola kelompok nirlaba Kristen AS, Jumat (14/2/2020) malam menewaskan 15 anak, dan memicu kontroversi baru atas terus bertambahnya panti asuhan tak berizin di negara paling miskin di Benua Amerika itu.
Dua anak tewas terbakar dalam kobaran api yang melanda Panti Asuhan Church of Bible Understanding, yang berada di Pennsylvania, di pinggiran ibu kota Port-au-Prince.
Sementara, 13 anak lainnya meninggal di rumah sakit akibat sesak napas menurut otoritas pada Jumat (14/2/2020). Penyebab kebakaran masih belum diketahui.
"Ini peristiwa yang sangat tragis," kata direktur Lembaga Kesejahteraan Sosial, Arielle Jeanty Villedrouin, menambahkan bahwa prioritas sekarang yakni mencari tempat baru untuk anak-anak yang selamat.
"Kami akan menempatkan mereka di pusat transit, sementara sambil kami memeriksa soal keluarga mereka dan melihat apakah kami dapat mempersatukan mereka dengan orang tuanya," kata dia kepada Reuters.
Empat dari lima anak, dari sekitar 30.000 anak di panti asuhan Haiti memiliki orangtua yang masih hidup, yang menyerahkan anak-anak tersebut lantaran terlalu miskin untuk merawat mereka, menurut pemerintah.
Hampir 60 persen dari populasi 11,2 juta bertahan hidup dengan kurang dari 2,40 dolar AS (sekitar Rp32.865) per hari, demikian Bank Dunia.
Dihubungi untuk berkomentar, seorang perempuan yang menjawab nomor telepon Church of Bible Understanding di Port-au-Prince, mengatakan: "Kami akan mengabari jika sudah tepat."
Dia tidak memperkenalkan dirinya dan langsung menutup telepon.
Villedrouin mengatakan panti asuhan itu, yang menampung sekitar 60 anak, tidak memiliki izin resmi untuk beroperasi. Hanya 35 dari 754 panti asuhan di Haiti yang diberi wewenang secara resmi, dengan 100 lainnya masih dalam proses mendapatkan izin tersebut.
Menurutnya, pemerintah telah menutup sekitar 160 lembaga selama lima tahun terakhir dan melarang pembukaan panti asuhan.