Bisnis.com, JAKARTA—Dibalik pintu-pintu rumah dan apartemen yang tertutup, ribuan bisnis tetap berupaya mencari cara agar tetap beroperasi di tengah merebaknya penularan virus Corona. Pekerjaan harus dilakukan secara virtual.
Kekhawatiran pada penularan penyakit ini telah menjadikan pengalaman work from home, atau bekerja dari rumah, menjadi sebuah kebutuhan bagi sebagian pekerja di China.
"Ini adalah kesempatan bagus bagi kami untuk menguji sistem bekerja dari rumah," kata Alvin Foo, Direktur Pelaksana Reprise Digital, sebuah agensi iklan Shanghai dengan 400 orang pekerja, seperti dikutip melalui Bloomberg, Senin (3/2).
Foo mengatakan sangat jelas sistem ini tidak akan mudah bagi industri kreatif yang sehari-hari bekerja dengan bertukar pikiran secara langsung. Dengan keterbatasan ini akan ada lebih banyak panggilan telepon dan obrolan video.
Saat ini, sebagian besar orang di China masih berlibur dalam rangka Tahun Baru Imlek. Namun, ketika perusahaan-perusahaan China mulai kembali operasi, hal ini kemungkinan akan menjadi masa percobaan work from home terbesar di dunia.
Seorang bankir di Hong Kong mengatakan akan memperpanjang liburannya di luar negeri, karena sekarang dia dapat bekerja dari mana saja dengan laptop dan telepon.
Baca Juga
Pekerja lain mengatakan akan menggunakan waktu mereka yang biasanya dihabiskan untuk bertemu janji makan siang dengan klien, kini dapat menghemat pengeluaran. Namun, kondisi ini tidak menguntungkan bagi sebagian pihak.
Sistem work from home tidak dapat diterapkan pada model bisnis co-working space yang sedang berkembang bersamaan dengan menjamurnya startup teknologi di China. Tanpa ada klien yang mau bekerja dalam jarak dekat di satu ruangan, bisnis akan mati.
Bagi banyak perusahaan, menginstruksikan pekerja kantor untuk tinggal di rumah hanya menyelesaikan sebagian dari masalah. Bisnis yang mengandalkan pabrik, perusahaan logistik, dan gerai ritel menghadapi gangguan sendiri.
Penyebaran virus dari kota Wuhan menyebabkan pabrik-pabrik pemasok di China tutup dan menghambat produksi.
"Tapi bisnis harus terus berlangsung, entah bagaimana," kata CEO Casetify Wes Ng, yang sepekan ini bekerja dari laptopnya di rumah.
Casetify memiliki stok ekstra untuk 30 hari ke depan, tetapi Ng tidak memiliki rencana B jika pabrik-pabrik tidak segera dibuka kembali. Masalah serupa juga dialami oleh ribuan bisnis lain di China dan di seluruh dunia.
"Yang terburuk belum datang. Kami rasa coronavirus dapat memberikan pukulan yang lebih parah terhadap ekonomi China dalam waktu dekat, relatif terhadap SARS pada tahun 2003," kata analis Nomura Ting Lu dalam sebuah catatan penelitian.