Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menyatakan bahwa masih adanya pejabat negara yang menerima gratifikasi dinilai menjadi salah satu faktor penghambat investasi.
Pernyataan Laodo merujuk pada penerimaan gratifikasi sebesar Rp22,23 miliar oleh dua pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka adalah Gusmin Tuarita selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Kalimantan Barat periode 2012-2016/Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur 2016-2018. Adapun dalam situs kementerian, dia kini menjabat sebagai Inspektur Jenderal Wilayah I ATR/BPN.
Sementara satu tersangka lain adalah Kepala Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah kantor BPN Wilayah Kalimantan Barat (Kalbar), Siswidodo.
Laode mengaku prihatin ketika masih adanya praktek gratifikasi bagi pejabat negara lantaran para pejabat tersebut diduga menguntungkan diri sendiri dan menyalahgunakan kewenangannya.
Mestinya, kata Laode, para pejabat negara di BPN dapat melayani masyarakat baik perorangan ataupun perusahaan terkait pertanahan tanpa menerima uang gratifikasi.
Baca Juga
"Ini tentu dapat saja mendorong praktek ekonomi biaya tinggi dan juga tidak tertutup kemungkinan menjadi faktor penghambat investasi," tutur Laode, Jumat (29/11/2019) malam.
Hal itu terutama bagi pelaku usaha yang ingin mendirikan usaha perkebunan atau pertanian dan sejenisnya dinilai harus mengeluarkan biaya ilegal dan prosesnya dipersulit.
Laode pun mengimbau agar para pejabat negara menolak pemberian uang dari pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan jabatan dan pekerjaannya.
Adapun jika dalam kondisi tidak memungkinkan untuk menolak seperti pemberian tidak langsung maka wajib dilaporkan ke Direktorat Gratifikasi KPK paling lambat 30 hari kerja.
Dia mengatakan undang-undang juga telah memberikan fasilitas pembebasan hukuman jika gratifikasi yang diterima tersebut dilaporkan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 12 C UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Jika sebuah gratifikasi dilaporkan, maka hal tersebut berada pada domain pencegahan korupsi, namun jika tidak dilaporkan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari Kerja hal tersebut berisiko pidana," tuturnya.
Sebelumnya, KPK meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan pada 4 Oktober setelah menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan penerimaan gratifikasi oleh pejabat BPN.
Menurut KPK, penerimaan gratifikasi ini terkait dengan proses pendaftaran tanah salah satunya perihal penerbitan Hak Guna Usaha [HGU] untuk sejumlah perkebunan sawit di Kalbar.
Gusmin diduga menerima uang dengan total Rp22,23 miliar selama 2013-2018 baik secara langsung maupun melalui Siswidodo dari para pemohon hak atas tanah termasuk pemohon HGU.
Atas penerimaan itu, Gusmin kemudian menyetorkan uang itu secara pribadi maupun oleh orang lain. Selain disetorkan ke beberapa rekeningnya, Gusmin juga menyetorkan sejumlah uang itu ke rekening istri serta anak-anaknya.
Sementara uang tunai yang diterima oleh tersangka Siswidodo dari pihak pemohon hak atas tanah terlebih dahulu dikumpulkan ke anak buah yang kemudian digunakan sebagai uang operasional tidak resmi.
Bahkan, sebagian dari uang digunakan untuk membayarkan honor tanpa kwitansi, seremoni kegiatan kantor, rekreasi pegawai ke sejumlah tempat di NTB, Malang dan Surabaya.
Tersangka Siswidodo juga memiliki rekening yang menampung uang dari pemohon hak atas tanah tersebut dan digunakan untuk keperluan pribadi.
Kedua tersangka tidak pernah melaporkan penerimaan uang-uang tersebut kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak uang itu diterima.
Atas dugaan tersebut, keduanya disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.