Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya menandatangani legislasi yang menunjukkan dukungan AS untuk para pengunjuk rasa di Hong Kong.
Pihak Gedung Putih mengungkapkan bahwa Trump telah menandatangani rancangan undang-undang (RUU) terkait hal tersebut untuk menjadi UU pada Rabu (27/11/2019) waktu setempat.
Meski begitu, Trump mengisyaratkan kekhawatiran atas beberapa bagian dalam UU baru itu, dengan menyebutkan risiko untuk mengganggu kewenangan konstitusionalnya menjalankan kebijakan luar negeri Amerika.
Undang-undang tersebut akan memungkinkan tinjauan tahunan status perdagangan khusus Hong Kong di bawah hukum Amerika dan sanksi terhadap pejabat yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia ataupun merongrong otonomi kota Hong Kong.
"Saya menandatangani legislasi ini karena menghormati Presiden Xi [Jinping], China, dan warga Hong Kong,” tutur Trump dalam sebuah pernyataan pada Rabu, seperti dilansir melalui Bloomberg.
“[Undang-undang] ini diberlakukan dengan harapan bahwa para pemimpin dan perwakilan China dan Hong Kong akan dapat menyelesaikan perbedaan mereka secara damai yang mengarah pada perdamaian jangka panjang dan kemakmuran bagi semua pihak,” lanjut Trump.
Senator Marco Rubio, seorang anggota Republik, mengatakan UU S. 1838 akan memberi AS sarana untuk mencegah pengaruh dan campur tangan lebih lanjut dari Beijing ke dalam urusan internal Hong Kong.
“Kongres AS meloloskan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong, dan saya memuji Presiden Trump karena menandatangani legislasi penting ini menjadi UU,” ucap Rubio dalam sebuah pernyataan.
Trump juga menandatangani RUU Hong Kong, S. 2710, yang melarang ekspor barang-barang pengendalian massa seperti gas air mata dan peluru karet ke kepolisian Hong Kong.
Penandatanganan legislasi tersebut oleh Trump sekaligus menjawab keraguan soal sikapnya terkait permasalahan di Hong Kong, wilayah yang dikendalikan oleh pemerintah China.
Meski banyak anggota Kongres baik dari kubu Republik maupun Demokrat telah menyuarakan dukungan kuat bagi para pengunjuk rasa yang menuntut otonomi lebih besar untuk kota tersebut, Trump tetap memilih diam bahkan ketika demonstrasi telah dipenuhi oleh eskalasi kekerasan.
Pekan lalu, Pemimpin Mayoritas Senat Mitch McConnell, seorang anggota Partai Republik dari Kentucky, meminta Trump untuk mengambil sikap.
McConnell menegaskan bahwa dunia harus mendengar dari Trump secara langsung mengenai dukungan Amerika Serikat untuk para pengunjuk rasa.
Di sisi lain, kementerian luar negeri China telah mendesak Trump mencegah RUU tersebut menjadi UU, dengan memperingatkan AS untuk tidak meremehkan tekad China mempertahankan "kedaulatan, keamanan dan kepentingan pembangunan".
"Jika AS bersikeras untuk menempuh jalan yang salah ini, China akan mengambil langkah-langkah penanggulangan yang tegas,” tutur juru bicara kementerian Geng Shuang dalam suatu briefing di Beijing.
Pada Senin (25/11), Wakil Menteri Luar Negeri China Zheng Zeguang memanggil duta besar AS, Terry Branstad, untuk menyatakan "oposisi kuat" terhadap apa yang dianggap pemerintah China sebagai campur tangan Amerika dalam aksi protes, termasuk adanya legislasi.
Undang-undang baru ini muncul tepat ketika Washington dan Beijing telah menunjukkan tanda-tanda progres menuju apa yang Gedung Putih sebut sebagai kesepakatan "fase satu" guna meringankan dampak perang dagang.
Trump ingin perjanjian itu dituntaskan agar dapat meringankan ketidakpastian ekonomi dalam upayanya untuk terpilih kembali sebagai Presiden AS melalui kampanye pilpres tahun 2020.