Kabar24.com, JAKARTA — Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP menjadi dasar hukum bagi Pengadilan Negeri Depok hingga Mahkamah Agung untuk memutus aset PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel dirampas untuk negara.
Begini bunyi Pasal 39 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 46 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
Pasal 39 KUHP
Ayat (1): Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
Ayat (2): Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.
Ayat (3): Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Pasal 46 KUHAP
Ayat (1): Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.
b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana.
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
Ayat (2): Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
MINTA REVISI
Empat orang advokat dan wiraswasta yakni Pitra Romadoni Nasution, David M. Agung Aruan, Yudha Adhi Oetomo, dan Julianta Sembiring lantas menggugat Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP ke MK. Dalam permohonan mereka, dua norma tersebut diklaim bertentangan dengan jaminan konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum dan mempunyai hak milik pribadi yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang.
Agar tidak potensial merugikan hak konstitusionalnya, para pemohon meminta MK menafsirkan ulang konstitusionalitas Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP. Caranya dengan menambahkan frasa-frasa yang berisi jaminan pengembalian aset korban kejahatan.
Dalam permohonannya, mereka meminta ayat-ayat dalam Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP diubah menjadi seperti ini:
Pasal 39 KUHP
Ayat (1): Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas dan dikembalikan kepada korban.
Ayat (2): Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang untuk mengganti kerugian korban tindak pidana.
Ayat (3): Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah untuk kepentingan publik, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Pasal 46 KUHAP
Ayat (1): Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang dirugikan akibat tindak pidana dan atau yang paling berhak apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.
b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana.
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
Ayat (2): Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara setelah mendapatkan persetujuan dari korban tindak pidana, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
“Pemohon berharap kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk meninjau ulang pasal a quo dimaksud agar tidak ada lagi pihak yang dirugikan akibat penerapan pasal a quo,” tulis Pitra dalam berkas permohonan yang diajukan di Jakarta, Senin (25/11/2019).