Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Aset First Travel Disita Negara, Advokat Ajukan Gugatan ke MK

Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasinya menyatakan barang-barang bukti hasil tindak pidana penipuan dan pencucian uang pemilik First Travel dirampas untuk negara.
Sejumlah pengacara mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji pasal yang menyatakan aset tindak pidana disita oleh negara./Anatar-Indrianto Eko Suwarso
Sejumlah pengacara mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji pasal yang menyatakan aset tindak pidana disita oleh negara./Anatar-Indrianto Eko Suwarso

Kabar24.com, JAKARTA — Problematika hukum seputar perampasan aset PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel berujung pada permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasinya menyatakan barang-barang bukti hasil tindak pidana penipuan dan pencucian uang pemilik First Travel dirampas untuk negara. Dasar putusan tersebut adalah Pasal 39 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 46 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Untuk lebih jelasnya, begini bunyi Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP:

Pasal 39 KUHP

Ayat (1): Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.

Ayat (2): Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.

Ayat (3): Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.


Pasal 46 KUHAP

Ayat (1): Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.

b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana.

c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

Ayat (2): Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

BUKAN KORBAN

Empat orang advokat dan wiraswasta yakni Pitra Romadoni Nasution, David M. Agung Aruan, Yudha Adhi Oetomo, dan Julianta Sembiring mempersoalkan Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP ke MK.

Dalam permohonan mereka, dua norma tersebut diklaim bertentangan dengan jaminan konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum dan mempunyai hak milik pribadi yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang.

Pitra dkk. meminta MK untuk menambahkan tiap ayat dalam Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP dengan frasa yang menjamin pengembalian barang korban kejahatan seperti dalam kasus First Travel. Pasal 39 ayat (1) KUHP, misalnya, diminta menjadi, ‘Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas dan dikembalikan kepada korban.’

“Putusan inkonstitusional bersyarat terhadap Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP dapat mewujudkan kepastian hukum dan menimbulkan rasa keadilan bagi pemohon serta para korban tindak pidana yang merasa dirugikan akibat asetnya dirampas dan tidak dikembalikan,” tutur Pitra dalam permohonan yang diajukan di Jakarta, Senin (25/11/2019).

Meskipun bukan sebagai jemaah First Travel, Pitra dkk. mengklaim memiliki kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP. Salah satu argumen para pemohon adalah kasus penipuan First Travel berpotensi terjadi pada orang berbeda.

“Dengan pemberlakuan pasal tersebut bisa menimbulkan kerugian kepada warga negara lainnya apabila hartanya diambil oleh negara padahal posisinya sebagai korban seperti kasus First Travel,” tutur Pitra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper