Kabar24.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) meminta kepada DPR untuk menyerahkan rekaman visual rapat paripurna pengesahan UU KPK hasil revisi guna membuktikan kehadiran fisik anggota parlemen telah kuorum.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa MK membutuhkan rekaman tersebut untuk menilai prosedur pembentukan UU No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasalnya, sebuah UU harus disahkan dengan syarat pemenuhan kehadiran anggota DPR.
"Kami ingin ada rekaman sidang berapa orang hadir dalam pembahasan ketika akan disetujuinya RUU. Saya kira pasti direkam di DPR agar kita bisa melihat," katanya dalam sidang perkara pengujian UU KPK hasil revisi di Jakarta, Selasa (19/11/2019).
Senada, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan bahwa kehadiran fisik anggota DPR penting untuk memastikan pengambilan keputusan. Pasalnya, terbuka kemungkinan pengambilan keputusan tak berdasarkan mekanisme musyawarah mufakat, tetapi voting.
"Walau ada tanda tangan basah [diserahkan sebagai alat bukti], rekaman kehadiran penting," ujarnya.
Menanggapi permintaan itu, Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan memastikan lembaganya siap memenuhi permintaan MK. Namun, dia harus menanyakan terlebih dahulu ke Sekretariat Jenderal DPR mengingat pengesahan UU KPK hasil revisi dilakukan oleh DPR periode 2014-2019.
"Rekaman kami punya biasanya. Mudah-mudahan kami punya rekamannya," ucap Arteria.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut mengklaim pengesahan UU KPK anyar disetujui secara aklamasi pada rapat paripurna 17 September. Menurut dia, sebanyak 289 anggota DPR meneken daftar kehadiran atau melebihi separuh dari total 560 legislator.
"Sehingga pengambilan keputusan telah penuhi syarat formil. Bahkan setelah itu tambah banyak yang hadir," ujarnya.
Sidang hari ini digelar untuk Perkara 59/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan oleh 22 mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi'iyah. Selain berstatus mahasiswa, mereka juga berprofesi sebagai advokat.
Perkara tersebut diajukan pada 30 September 2019. Selanjutnya, MK menggelar tahapan sidang pemeriksaan pendahuluan pada 14 Oktober dan sidang perbaikan permohonan pada 28 Oktober.
Awalnya, gugatan tersebut diajukan ketika UU KPK hasil revisi belum diundangkan. Meski demikian, para pemohon berhasil memasukkan nomenklatur beleid tersebut, UU No. 19/2019, dalam sidang perbaikan.
Para mahasiswa Universitas Islam As-Syafi'iyah menguji UU KPK secara formil dan materiil. Untuk pengujian formil, mereka meminta MK membatalkan UU 19/2019 karena dibentuk tidak sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.
Salah satu dalil pemohon adalah kehadiran fisik anggota DPR dalam pengesahan UU KPK hasil revisi sebanyak 80 orang alias tidak kuorum.