Bisnis.com, JAKARTA -- Setelah dilanda aksi protes anti pemerintah selama 5 bulan terakhir, Menteri Keuangan Hong Kong menyatakan bahwa kota tersebut telah jatuh ke dalam resesi dan tidak mungkin mencapai target pertumbuhan ekonomi tahunan tahun ini.
"Pukulan terhadap ekonomi kami sangat komprehensif," kata Menteri Keuangan Hong Kong Paul Chan dalam sebuah unggahan blog, dikutip melalui Reuters, Senin (28/10/2019).
Dia menambahkan bahwa perkiraan awal untuk produk domestik bruto kuartal ketiga, yang akan dirilis pada Kamis (31/10/2019), diprediksi menunjukkan kontraksi selama 2 kuartal berturut-turut, dengan kata lain ekonomi mengalami resesi.
Dia juga mengatakan akan sangat sulit untuk mencapai perkiraan pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi tahunan 0%-1% yang dihitung sebelum aksi protes berlangsung.
Aksi protes di kota bekas koloni Inggris ini telah berlangsung selama 21 pekan.
Pada akhir pekan lalu, demonstran berpakaian hitam dan bertopeng membakar toko-toko dan melemparkan bom bensin ke polisi yang merespons dengan gas air mata, meriam air, dan peluru karet.
Para pengunjuk rasa secara rutin membakar halaman depan pertokoan dan bisnis termasuk bank, terutama yang dimiliki oleh perusahaan China dan merusak sistem metro kota yang dioperasikan MTR Corp karena mendukung pemerintah untuk meredam protes.
MTR telah menghentikan layanan lebih awal selama beberapa pekan terakhir dan mengatakan tidak akan beroperasi sekitar dua jam lebih awal dari biasanya pada Senin (28/10/2019) untuk memperbaiki fasilitas yang rusak.
Jumlah wisatawan anjlok, penurunan yang disebut Chan sebagai kondisi darurat di mana jumlah pengunjung mengalami penurunan hampir 50% pada Oktober.
Operator ritel, dari mal perbelanjaan utama hingga bisnis keluarga, terpaksa dipaksa tidak beroperasi selama beberapa hari dalam beberapa bulan terakhir.
Sementara itu pihak berwenang telah mengumumkan langkah-langkah untuk melindungi usaha kecil dan menengah lokal, Chan mengatakan langkah-langkah itu hanya dapat mengurangi sedikit tekanan.
"Biarkan warga kembali ke kehidupan normal, biarkan industri dan perdagangan beroperasi secara normal, dan ciptakan lebih banyak ruang untuk dialog rasional," tulis Chan.
Para pengunjuk rasa marah tentang apa yang mereka pandang sebagai meningkatnya interupsi oleh Beijing di Hong Kong.
Kota ini kembali ke pemerintahan China pada tahun 1997 di bawah kebijakan khusus “one country, two systems” yang dimaksudkan untuk menjamin demokrasi yang tidak tersedia di daratan China.
China membantah telah ikut campur dalam politik Hong Kong. Beijing justru menuduh pemerintah asing, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, telah menimbulkan masalah.