Bisnis.com, JAKARTA -- Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan bahwa negaranya yang bergantung pada ekspor itu kemungkinan akan menjadi target sanksi dagang baru di tengah meningkatnya proteksionisme dari perang tarif AS-China.
Dilansir melalui Reuters, Mahathir tidak menyebutkan sumber kemungkinan sanksi terhadap negara Asia Tenggara itu, tetapi mengatakan dia kecewa bahwa para pendukung perdagangan bebas sekarang terlibat dalam praktik-praktik perdagangan terbatas pada skala besar.
Dia mengatakan bahwa Malaysia berada di posisi yang tidak aman di dalam perang dagang.
"Secara ekonomi kami terhubung dengan kedua pasar [AS dan China], dan secara fisik kami juga terjebak di antaranya karena alasan geografis. Bahkan muncul kemungkinan bahwa kita sendiri akan menjadi sasaran sanksi [tarif]," ujarnya seperti dikutip melalui Reuters, Senin (21/10).
Amerika Serikat dan China adalah dua dari tiga tujuan ekspor terbesar untuk Malaysia antara Januari dan Agustus tahun ini. Singapura adalah tujuan utama.
Untuk mengurangi dampak bentrokan antara negara-negara adidaya itu, Mahathir mengatakan Malaysia kini lebih banyak berkolaborasi dengan negara-negara tetangga di kawasan Asean.
Baca Juga
Vietnam, yang menikmati dampak limpahan perang dagang, kini telah diawasi oleh pemerintah AS. Bahkan Presiden Donald trump menggambarkan negara Asia Tenggara tersebut sebagai penyalahguna kesempatan di tengah perang dagang.
Pada Mei, Malaysia masuk ke dalam daftar pengawasan tresuri AS atas tuduhan manipulasi mata uang untuk perdagangan bilateral dan surplus neraca berjalan.
Bank Sentral Malaysia membantah tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa mereka mendukung perdagangan bebas dan adil.
Mahathir juga mengeluh diintimidasi oleh negara-negara besar, merujuk pada kampanye negara-negara Eropa terhadap minyak sawit yang merupakan andalan pertanian Malaysia.
Minyak nabati berkontribusi 2,8% dari produk domestik bruto Malaysia tahun lalu dan 4,5% dari total ekspor.
“Setelah menebangi sebagian besar hutan mereka dan menolak untuk mengurangi emisi berbahaya, mereka sekarang mencoba memiskinkan orang miskin dengan mencegah dari menebangi hutan untuk ruang hidup dan mencari nafkah,” katanya.
Uni Eropa meloloskan undang-undang pada awal tahun ini untuk menghapus minyak kelapa sawit dari bahan bakar terbarukan pada tahun 2030 karena kekhawatiran deforestasi.
Di samping itu, ada juga kekhawatiran bahwa India, salah satu pembeli minyak kelapa sawit terbesar di Malaysia, akan membatasi impor produk tersebut karena perselisihan diplomatik atas komentar Mahathir mengenai tindakan New Delhi baru-baru ini di wilayah Kashmir yang disengketakan di Asia Selatan.