Bisnis.com, JAKARTA – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019—2024 menyatakan akan mengkaji lebih lanjut rancangan undang-undang kitab undang-undang hukum pidana. Pengkajian tersebut merupakan hasil dari aspirasi masyarakat.
Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo mengatakan akan berdiskusi dengan Komisi III DPR untuk menemukan titik temu antara pasal-pasal yang tidak disetujui masyarakat. Menurutnya, pengesahan RUU KUHP tidak boleh diwarnai dengan hanya kesepakatan sebagian pihak.
“Kalau pun ada 1—2 orang yang belum setuju, harusnya belum boleh diundangkan. Ini menyangkut marwah. Jadi, kalau bicara undang-undang jangan bicara voting, harus bicara akomodasi jalan keluar [bagi semua pihak],” ujar Edhy kepada Bisnis, Selasa (1/10/2019).
Terpisah, Anggota DPR Fraksi-Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Arteria Dahlan menilai konfigurasi politik DPR periode 2019—2024 hampir sama dengan periode sebelumnya.
Konfigurasi politik jajaran eksekutif pun nyaris sama dengan periode sebelumnya. Alhasil, menurutnya, diskusi terkait RUU KUHP selanjutnya akan berpulang pada kesepakatan.
Arteria berujar fraksinya akan meminta semua anggota fraksi di kursi DPR untuk mencermati dan lebih hati-hati dalam membahas RUU KUHP. Hal tersebut bertujuan agar hukum yang dihasilkan tidak menjadi norma untuk kelompok tertentu saja.
Selain itu, Arteria menyatakan bahwa tidak semua kegiatan agama harus diatur di dalam KUHP. Pasalnya, hukum pidana merupakan cara terakhir dalam memutuskan masalah saat perangkat hukum lainnya tidak efektif atau ultimum remedium.
Arteria berujar RUU KUHP akan masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) periode 2019—2024 dan ditargetkan rampung tahun ini.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003—2008 Jimly Asshiddiqie mengatakan beberapa pasal yang menjadi tuntutan utama dalam demonstrasi mahasiswa akan dievaluasi. Namun demikian, lanjutnya, proses pengesahan RUU KUHP tidak boleh pupus hanya karena beberapa pasal bermasalah.
“Jangan sampai impian sejak tahun 1963 itu pupus hanya gara-gara satu isu. Isu yang 10 pasal itu bisa di-drop kalau ada kesepakatan. [Pengesahan RUU] KUHP itu akan jadi monumental kalau ditetapkan, itu akan jadi sejarah,” kata Jimly kepada Bisnis.
Pada kesempatan berbeda, Anggota DPR Fraksi—Partai Nasional Demokrat (NasDem) Hillary Lasut menilai masalah utama RUU KUHP adalah sosialisasi yang tidak merata dan minimnya akses terhadap RUU tersebut. Alhasil, informasi yang tersebar tidak lengkap dan cenderung provokatif.
“Masyarakat hanya bertumpu pada informasi [di] media sosial dan media online yang tidak kredibel. Akhirnya yang di-posting hal-hal provokatif dan masyarakat akhirnya terprovokasi,” kata Hillary.
Hillary mengusulkan agar draf tersebut disebarkan secara terbuka dan lengkap agar bisa dipelajari lebih lanjut. Selain itu, tambahnya, pembahasan draf tersebut sebaiknya melibatkan kaum akademisi yang notabene dapat membantu sosialisasi di perguruan tinggi.