Bisnis.com, JAKARTA — Revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pernah dibahas pada 2016, lalu ditunda karena banyak penolakan. Di akhir masa periode 2014—2019 Dewan Perwakilan Rakyat, perubahan diusulkan lagi.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Masinton Pasaribu mengatakan bahwa usulan revisi sebenarnya sudah ada sejak zaman pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah itu dibahas pada periode ini.
“Kemudian sekarang saya dan beberapa teman-teman kembali mengusulkan itu. Nah kemudian menjadi usul inisiatif baleg [badan legislasi] diambil oleh institusi baleg, katanya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (6/9/2019).
Selain dia, Masinton menjelaskan bahwa ada lima orang pengusul lainnya. Mereka adalah Risa Mariska dari PDIP, Taufiqulhadi (Nasdem), Achmad Baidowi (PPP), Saiful Bahri Ruray (Golkar), dan Ibnu Multazam (PKB).
Bagi Masinton, usulan revisi adalah hak konstitusional anggota DPR. Tidak ada yang salah dengan itu demi regulasi lebih baik.
“Intinya saya berpandangan agenda pemberantasan korupsi ini harus direvitalisasi. Revitalisasi itu termasuk revisi UU KPK. Kenapa revisi? Saya berpandangan bahwa aspek penegakan hukum itu harus mengikuti satu kesatuan itu yang disebut integrated criminal justice system,” jelasnya.
Di sisi lain, Ketua KPK Laode M Syarif menegaskan bahwa perubahan UU 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan upaya pelemahan secara diam-diam.
Syarif saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (5/9/2019) menyatakan bahwa pemerintah dan DPR telah membohongi rakyat Indonesia karena dalam program mereka selalu menyuarakan penguatan terhadap KPK.
“Pada kenyataannya mereka berkonspirasi melemahkan KPK secara diam-diam,” katanya.