Kabar24.com, JAKARTA — PDI Perjuangan yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri mencatat sejarah sebagai partai politik yang dua kali beruntun memenangi Pemilihan Umum yakni Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
Partai berlambang banteng moncong putih itu mengalami evolusi, dari Partai Demokrasi Indonesia menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Evolusi itu tak lepas dari intrik politik yang pernah terjadi di Tanah Air di era Orde Baru.
Era yang saat itu hanya dikenal dua partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan lambang bintang dan Partai Demokrasi Indonesia berlambang kepala banteng, serta satu organisasi masyarakat Golongan Karya (Golkar) yang merupakan cikal bakal Partai Golkar.
Setelah Orde Baru runtuh pada 1998, lalu pemerintahan saat itu memutuskan untuk menggelar Pemilu 1999, Indonesia mengalami banjir parpol.
PDI terpecah yakni PDI pimpinan Soerjadi dan kubu setia pendukung trah Soekarno, Megawati Soekarnoputri.
Demi menghilangkan dualisme sebagai peserta Pemilu 1999, kubu Mega lantas mendeklarasikan PDI Perjuangan.
Pada 1999 itulah PDIP sebagai partai baru mampu memenangi Pemilu dengan meraih lebih dari 35 juta suara.
Dari pemilu ke pemilu, baik saat masih bernama PDI dan sekarang menjadi PDIP, boleh dibilang perolehan suara parpol itu cukup konsisten.
Perolehan suara dari tiap Pemilu
1977 5.504.757
1982 5.919.702
1987 9.384.708
1992 14.565.556
1997 3.463.225
1999 35.689.073
2004 20.710.006
2009 14.600.091
2014 23.681.471
2019 27.053.961
Sosok Mega disebut menjadi simbol perjuangan PDI dan PDIP dari waktu ke waktu.
Tidak mudah bagi parpol lain mencuri basis massa PDIP ini.
Setelah Pemilu 2004, misalnya, saat sejumlah kader utama di PDIP seperti Roy BB. Janis dan Laksamana Sukardi mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), hal itu tidak serta merta menenggelamkan PDIP.
Pada akhirnya, PDP yang didirikan mantan elite PDIP Roy BB Janis dan Laksamana Sukardi (keduanya orang dekat Megawati), justru yang terpecah menjadi dua kubu dan kini tak lagi eksis di panggung politik nasional.
Artinya, Mega seperti punya cara untuk menjaga roda partai meski ditinggal orang kepercayaannya.
Ketika ditinggal sejumlah petingginya, PDIP melahirkan sosok baru sebut saja Tjahjo Kumolo, Pramono Anung, hingga kini era Hasto Kristiyanto.
Memang di antara parpol peserta Pemilu 2019, sosok Mega boleh disebut paling senior dari deretan ketua umum parpol lainnya.
Bagi internal PDIP, Mega disimbolkan sebagai sosok pemersatu. Namun, bagi dinamika internal parpol, ketergantungan terhadap satu pimpinan tentu saja bakal menjadi persoalan tersendiri untuk regenerasi kepemimpinan.
Jelang Kongres ke-5 PDIP di Bali 8—11 Agustus 2019, suara akar rumput memang masih menginginkan Mega menahkodai PDIP.
Sepertinya, keputusan hampir bulat. Mega akan dipilih secara aklamasi oleh pengurus dari berbagai daerah.
Hal itu tentu mudah bagi Mega untuk menjalankan roda parpol, tapi terasa sulit dalam menyiapkan regenerasi kepemimpinan ke depan.
Tampaknya, dalam menyiapkan regenerasi kepemimpinan di internal PDIP, Mega akan bekerja sepertinya halnya memilih Joko Widodo sebagai calon presiden pada 2014.
Mega mencermati dinamika akar rumput, menguji seorang Jokowi untuk tidak terbawa arus puja dan puji kala itu, sebelum akhirnya memberi rekomendasi.
Dalam hal regenerasi di PDIP, seperti halnya watak Mega yang sering terlihat, memilih dalam diam.