Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggandeng komisi antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), dalam upaya pemanggilan tersangka Sjamsul Nursalim.
Taipan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, kembali dipanggil KPK pada Jumat (19/7/2019), terkait kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).
"Upaya pemanggilan tersangka juga dilakukan dengan meminta bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura sejak Rabu 10 Juli 2019," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (17/7/2019).
Adapun surat panggilan pemeriksaan telah dikirim ke lima alamat berbeda masing-masing di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, dikirim ke alamat Simprug W.G 9, Grogol Selatan, Jakarta Selatan sejak Rabu (10/7/2019).
Sementara untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke alamat 20 Cluny Road; Giti Tire Pte. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley dan 18C Chatsworth Rd, sejak Kamis (11/7/2019).
Selain mengantarkan surat panggilan pemeriksaan tersebut, KPK juga meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura.
Baca Juga
Besok merupakan panggilan kedua setelah pada Jumat 28 Juni lalu keduanya mangkir dengan alasan tidak jelas.
KPK memberi kesempatan pada keduanya apabila ingin menyampaikan argumentasi, bantahan-bantahan soal kasus BLBI dengan alat bukti yang valid.
"Jika SJN dan ITN meyakini tidak melakukan korupsi sebagaimana yang diduga dalam perkara ini, maka KPK mengajak tersangka untuk menghadapi proses hukum secara terbuka," katanya.
Dia mengatakan proses pemanggilan ini mempertegas bahwa lembaga antirasuah tidak menghentikan penyidikan kasus Sjamsul Nursalim selaku obligor BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Keduanya diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun, yang kemudian menjadi dasar kerugian keuangan negara senilai Rp4,58 triliun.
Menurut Febri, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa tersangka melakukan missrepresentasi dan aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.
Pada 24 Mei 2007, lanjut dia, Perusahaan Pengelola Aset melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma senilai Rp220 miliar, padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun.
Selain keduanya, KPK juga turut memanggil mantan Menko Ekuin sekaligus Ketua KKSK periode 2000-2001 Rizal Ramli sebagai saksi untuk kasus ini. Pemanggilan ini adalah penjadwalan ulang.
Dalam perkara ini, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.