Bisnis.com, JAKARTA — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan, KontraS, mendorong Polri menjelaskan lebih lanjut terkait peluru yang menewaskan 8 orang korban kerusuhan 21-22 Mei 2019.
Wakil Koordinator KontraS Feri Kusuma berpendapat apabila hal ini tidak dijelaskan sejelas-jelasnya, akan timbul asumsi liar. Misalnya, pendapat bahwa pihak Kepolisian sendiri yang menembakkan peluru tersebut.
"Timbulnya asumsi ini hal yang wajar menurut saya karena kepolisian sendiri tidak menjelaskan terkait peluru ini, seperti jenis pelurunya apa, uji balistik, dan jarak tembakan sejauh apa, apakah peluru tajam atau peluru karet," ungkap Feri di kantor KontraS, Rabu (12/6/2019).
Menurut Feri, korban dalam peristiwa kerusuhan ini seharusnya menjadi pintu prioritas utama penegak hukum, demi mengusut aktor-aktor yang terlibat secara lebih dalam.
Menambahkan pendapat Feri, Staf Research and Development KontraS Rivanlee Anandar berpendapat bahwa Polri sebenarnya bisa dengan mudah mengecek dari mana peluru itu berasal. Terlebih, yang digunakan oleh anggotanya sendiri.
"Penggunaan senjata api Polisi itu direkap, didata. Jadi satu peluru yang keluar, pasti ketahuan punya siapa," jelas Rivanlee dalam kesempatan yang sama.
Staf Research and Development KontraS Rivanlee Anandar/Bisnis-Aziz R
Sesuai peraturan Kapolri, data penggunaan senjata dari setiap kompi pengamanan bisa terlihat. Rivanlee menegaskan yang diperlukan tinggal sikap Polri sendiri, mau atau tidak mengedepankan transparansi.
"Saya tidak tahu bisa dibuka ke publik atau tidak. Tapi kan ada form penggunaan senjata api. Diisi berapa pelor, dipakai untuk apa," tambah Rivanlee .
Selain soal peluru, KontraS berharap Presiden Joko Widodo membentuk Tim Pencari Fakta atas penyelesaian kasus ini. KontraS pun menyoroti 8 poin yang masih mengandung bias informasi, sehingga harus dijelaskan pihak kepolisian.
Di antaranya terkait anggota kepolisian yang terlibat kekerasan, pembatasan akses jenguk dan bantuan hukum pada tersangka yang ditahan, para purnawirawan di balik paslon, dan kerja sama dengan lembaga lain terkait indikasi pelanggaran HAM.
"Oleh sebab itu, lembaga negara seperti Komnas HAM, Ombudsman Rai, LPSK, Komnas Perempuan, dan KPAI, perlu dilibatkan lewat suatu pembentukan Tim Pencari Fakta," ujar Feri.