Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik membagikan kenangan bersama Ani Yudhoyono melalui cuitan akun twitter @RachlanNashidik Minggu (2/6/2019) pagi.
Rachlan juga bercerita tentang awal penyakit kanker darah yang diderita oleh Ibu Ani. Dia menuangkannya dalam 7 kali cuitan dengan awal kalimat "Tak Kesampaian".
Awal mula Ibu Ani divonis kanker darah oleh dokter dalah ketika usai perjalanan menyambangi warga Aceh menggunakan bus.
Rachland menyampaikan sangat terpukul dengan meninggalnya Ani Yudhoyono. Dia juga menyesali ketika semasa hidupnya tidak pernah berfoto berdua dengan Ibu Ani. Itu beralasan karena Rachlan menyadari jelek kalau difoto.
Ada satu hal yang saya sesali. Sepanjang usia saya di Partai Demokrat, jadi kader dan partner diskusi keluarga Pak SBY, saya tak pernah berfoto berdua dengan Ibu Ani. Saya sadar kurang fotogenic. Lebih sering duduk di belakang saat banyak rekan berfoto dengan Pak SBY dan Ibu.
— Rachland Nashidik (@RachlanNashidik) June 1, 2019
Ibu Ani pernah 'diam' tidak mau bicara dalam beberapa kurun waktu karena mengkritik kebijakan partai. Namun Ibu Ani tetap mengirimkan pesan singkat mengucapkan ulah tahun. Itu salah satu kenangan Rachland yang menganggap Ibu Ani dan pak SBY sebagai orang tua mengingat dia seorang yatim piatu.
Berikut rangkaian cuitan Wasekjen Demokrat Rachlan Nashidik mengenang kepergian Ani Yudhoyono :
Baca Juga
Tak kesampaian. Di Medan, siang itu, Ibu Ani menyambut ide kami. Serial Video pendek percakapan Ibu Ani dengan @rockygerung. Esoknya, Pak @SBYudhoyono dan Ibu menyambangi warga Aceh dengan bus. Usai perjalanan, dokter menemukan kanker darah di tubuhnya. Tuhan berkehendak lain.
Ada satu hal yang saya sesali. Sepanjang usia saya di Partai Demokrat, jadi kader dan partner diskusi keluarga Pak SBY, saya tak pernah berfoto berdua dengan Ibu Ani. Saya sadar kurang fotogenic. Lebih sering duduk di belakang saat banyak rekan berfoto dengan Pak SBY dan Ibu.
Bagi saya, dan bagi banyak kawan di Demokrat, Pak SBY dan Bu Ani adalah orang tua kami. Saya sendiri yatim piatu. Saya cium tangan mereka, tanda cinta dan hormat. Justru sebab itu, saya tak sungkan berbeda pandangan dengan Pak SBY. Beliau tak selalu setuju. Tapi selalu mendengar.
Seingat saya, dua kali dalam diskusi Pak SBY menggebrak meja. Mungkin kesal pada sikap "keras kepala" saya. Beliau menjuluki @AndiArief__ dan saya "Kelompok Rengasdengklok". Merujuk pada Sukarni Cs yang menculik Soekarno-Hatta. Begitupun, saya selalu patuh bila keputusan diambil.
Lain halnya Ibu Ani. Saya pernah "didiemin", tak disapa, karena mengeritik terbuka kebijakan Partai. Tapi beliau tetap mengirim pesan SMS saat saya berulang tahun. Ada ciri khas beliau. Bila sedang kesal, beliau panggil saya "Pak". Hilang kesalnya, saya dipanggil "Bang Alan".
Setiap diskusi, Ibu Ani selalu hadir. Bukan sekali Pak SBY mengundang Ibu, yang masih di kamar, datang ke ruang perpustakaan tempat kami berdebat. Ibu Ani bukan hanya mendengar dan menyampaikan pandangan. Beliau selalu mencatat. Lalu diujung membacakan kesimpulan dan putusan.
Tak tahu di Partai lain. Tapi kebiasaan mendengar dan bertukar pendapat pada Pak SBY dan Ibu Ani itulah yang membuat "anak LSM" ini merasa mendapat "rumah". Demokrat adalah partai pertama yang saya masuki. Dan akan jadi partai terakhir yang saya tinggalkan, kelak tiba masa.