Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap modus baru dalam transaksi suap terkait penyidikan tentang penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan kantor imigrasi Nusa Tenggara Barat tahun 2019.
Dalam kontruksi perkara, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan awalnya penyidik PPNS di Kantor lmigrasi Klas l Mataram mengamankan dua warga negara Singapura dan Australia masing-masing dengan inisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal.
Menurut Alex, mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa namun ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok.
PPNS Imigrasi setempat menduga 2 warga negara asing tersebut melanggar Pasal 122 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 Tentang Keimigrasian.
Merespon penangkapan tersebut,Liliana Hidayat selaku perwakilan manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara melakukan negosiasi dengan PPNS Kantor Imigrasi Klas I Mataram agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut.
Kantor Imigrasi Klas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk dua WNA tersebut tanggal 22 Mei 2019. Yusriansyah Fazrin selaku Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram kemudian menghubungi Liliana ntuk mengambil SPDP tersebut.
Baca Juga
"Permintaan pengambilan SPDP ini diduga sebagai kode untuk menaikan harga untuk menghentikan kasus [izin tinggal]," kata Alexander dalam konferensi pers, Selasa (28/5/2019).
Menurut Alex, Liliana kemudian menawarkan uang sebesar Rp300 juta untuk menghentikan kasus tersebut namun Yusriansyah menolak dengan alasan nominal yang sedikit. Selanjutnya, tersangka Yusrinsyah berkoordinasi dengan Kurniadie terkait biaya.
Selanjutnya, diduga terjadi pertermuan antara Yusriansyah dan Liliana untuk kembali membahas negosiasi harga.
"Dalam OTT ini, KPK mengungkap modus baru yang digunakan YRI, LIL dan KUR dalam negosiasi uang suap, yaitu menuliskan tawaran LIL di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara," kata Alex.
Kemudian, lanjut Alex, Yusriansyah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan.
"Akhirnya disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara 2 WNA tersebut adalah Rp1,2 miliar," katanya.
Tak hanya modus baru, metode penyerahan uang yang digunakan juga menurutnya tidak biasa. Dalam hal ini, Liliana memasukan uang sebesar Rp1,2 miliar ke dalam kresek hitam dan memasukan kresek hitam pada sebuah tas.
Sesampai di depan ruangan Yusriansyah, tas kresek hitam yang berisi uang Rp1,2 miliar tersebut dibuang ke dalam tong sampah di depan ruangan tersebut.
"YRI kemudian memerintahkan BWl [Bagus Wicaksono selaku penyidik PPNS] mengambil uang tersebut dan membagi Rp800 juga untuk KUR. Penyerahan uang pada KUR adalah dengan cara meletakkan di ember merah," kata Alex.
Kurniadie juga kemudian meminta pihak Iain untuk menyetorkan Rp340 juta ke rekeningnya di sebuah bank. Sedangkan sisanya senilai Rp500 juta akan diperuntukkan pada pihak lain.
"Teridentifnkasi salah satu komunikasi dalam perkara ini setelah penerimaan uang oleh pejabat lmigrasi terjadi, yaitu 'makasi, buat pulkam'," kata Alex.
Saat ini, ketiga orang tersangka tersebut telah berada di Gedung Merah Putih KPK guna menjalani pemeriksaan lebih lanjut setelah tiba pada sore hari.
Atas perbuatannya, Liliana disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sementara Yusriansyah Fazrin dan Kurniadie disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) KUHP.