Bisnis.com, JAKARTA - Tragedi Trisakti menjadi ongkos yang mahal bagi terjadinya reformasi di Indonesia.
Aktivis 98 Adian Napitupulu mengharapkan agar kejadian tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 tidak kembali terulang.
"Untuk alasan apapun juga, bangsa Indonesia tidak boleh kembali ke masa lalu," kata Adian saat berziarah ke makam pahlawan reformasi di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Minggu, dalam peringatan 21 Tahun Tragedi Trisakti.
Di masa lalu masyarakat dikekang dan terbelenggu oleh kekuasaan otoriter selama masa Orde Baru sehingga memancing pergerakan elemen mahasiswa dari seluruh Indonesia.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu menegaskan Indonesia untuk alasan apapun tidak boleh balik ke zaman di mana nyawa tidak ada harganya, zaman di mana orang tidak bisa bicara,zaman kebebasan dibelenggu sedemikian rupa.
Saat ini, lanjut Adian, ada banyak kemajuan yang dirasakan masyarakat di dalam menjalani sistem demokrasi pasca reformasi. Indonesia sedikit demi sedikit menunjukkan keseriusannya untuk menerapkan prinsip negara demokrasi.
Baca Juga
"Itu membuktikan meninggalnya mereka tidak sia-sia, ketika buruh berserikat, orang boleh berkumpul mengeluarkan pendapat dengan sebebas-bebasnya itu sekali lagi menunjukkan meninggalnya mereka tidak sia-sia. Ketika lahir KPU, ada KPK dan sebagiannya, sekali lagi meninggalnya mereka tidak sia-sia," ujar Adian.
Termasuk, tambah Adian, ketika Bangsa Indonesia dapat merasakan Pemilu secara langsung, itu merupakan buah dari para pejuang reformasi.
Oleh karena itu, lanjut Adian, Pemilu yang baru saja digelar sekaligus untuk memastikan bahwa Indonesia tidak kembali dipimpin oleh orang-orang yang berjiwa Orde Baru.
Tragedi Trisakti merupakan salah satu peristiwa awal dari rentetan kerusuhan Mei 1998 yang akhirnya menimbulkan ribuan korban meninggal dunia.
Dalam tragedi Trisakti, empat mahasiswa Trisakti tewas, yakni Elang Mulia, Hendriawan Sie, Hafidhin Royan, dan Hery Hartanto. Keempatnya pun menerima Bintang Jasa Pratama dan dikenal sebagai Pejuang Reformasi.
Aktivis 98 lainnya, Julianto Hendro Cahyono menambahkan, ziarah kepada pahlawan reformasi merupakan kewajiban sejarah terhadap aktivis 98 yang gugur pada saat memperjuangkan reformasi.
"Empat mahasiswa Trisakti ini gugur dalam berjuang untuk membuka keran demokrasi, membuka kebebasan, untuk membuka reformasi total, dan menurunkan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998," kata Julianto.