Kabar24.com, JAKARTA — Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mendesak Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto untuk membatalkan pembentukan Tim Asistensi Hukum.
Direktur PSHK Sholikin mengatakan bahwa pembentukan tim itu justru akan menciptakan kekacauan hukum karena argumen yang dibangun tidak menghargai prinsip keberadaan aparat penegak hukum yang ada.
"PSHK menilai langkah Menko Polhukam membentuk tim asistensi hukum bakal bermasalah secara hukum karena tidak didasarkan pertimbangan hukum yang kuat. Apabila ada tindak pidana dan pelanggaran pemilu telah diatur dengan jelas dalam UU No. 7/2017 tentang pemilu," kata Sholikin dalam keterangan resminya, Jumat (10/5/2019).
Di dalamnya ada lembaga-lembaga yang terlibat yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kepolisian dan Kejaksaan.
Adapun tindak pidana lainnya, ada KUHP dan berbagai perangkat hukum pidana lainnya lebih dari cukup untuk menindak pelaku pelanggaran hukum.
Pasalnya, apabila tim itu dibentuk dampaknya berpotensi melakukan diskriminasi karena menggunakan instrumen penegakan hukum hanya terhadap pihak atau kelompok tertentu saja.
Baca Juga
Tak kalah pentingnya, pernyataan Menkopolhukam itu berpotensi membungkam kebebasan berpendapat karena di dalam pasal 28E UUD 1945, setiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat maupun menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya.
Bahkan di dalam UU No. 39/1999 pasal 23 tentang HAM juga menjamin setiap orang untuk bebas mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat secara lisan atau tulisan, media dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa.
"Sebaliknya, pembentukan Tim Asistensi Hukum itu justru akan membatasi ruang gerak masyarakat yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah," ujarnya.
PSHK mengecam pula pernyataan Menko Polhukam bahwa pemerintah akan menutup media yang membantu melanggar hukum. Sikap itu, kata dia, bertentangan dengan prinsip kebebasan pers bahwa UU No. 40/1999 tentang pers telah tegas menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Menurutnya, UU Pers juga melarang praktik pembredelan terhadap pers sebagaimanan terjadia pada masa orde baru karena dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh insan media hanya dapat diselesaikan melalui dewan pers dengan prosedur hukum yang ketat.