Bisnis.com, JAKARTA -- Pengerahan massa dalam jumlah banyak atau people power harus mematuhi peraturan yang berlaku. Jika tidak, pelaku dan penggerak people power bisa terancam hukuman pidana.
Hal itu disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat menghadiri Rapat Kerja Komisi I DPD RI, Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (7/5/2019). Menurutnya, people power bisa diartikan sebagai mobilisasi massa untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Sesuai definisi itu, maka people power harus dilakukan sesuai aturan yang berlaku, salah satunya adalah Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2017. Aturan itu mengatur batasan dan syarat-syarat unjuk rasa.
"Kalau tidak melalui mekanisme ini, apalagi sudah ada bahasa-bahasa akan menjatuhkan pemerintah, itu pasal 107 KUHP jelas dan tegas, ini adalah UU yang dibuat oleh rakyat. Bahasanya jelas yakni perbuatan yang bermaksud menggulingkan pemerintah yang sah adalah perbuatan makar dan ada ancaman pidananya," ucap Tito.
Dalam Peraturan Kapolri 7/2017 diantaranya diatur batasan agar unjuk rasa di ruang terbuka digelar maksimal hingga pukul 18.00. Kemudian, unjuk rasa di ruang tertutup bisa digelar hingga maksimal pukul 22.00.
Unjuk rasa juga diatur tak boleh menggunakan kekerasan dan harus melalui koordinasi dulu sebelum dilakukan. Pelaku unjuk rasa harus mengurus izin dengan mengirim surat pemberitahuan. Setelah itu, polisi berhak mengeluarkan atau tidak mengeluarkan surat tanda terima.
Baca Juga
Jika surat tanda terima tak diberikan, maka unjuk rasa tak bisa dilakukan. Apabila kegiatan itu tetap dilakukan, maka polisi berhak membubarkan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku.
"Kalau ternyata memprovokasi atau menghasut untuk melakukan upaya pidana, misalnya makar, itu juga ada aturan tersendiri, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1946 pasal 14 dan 15," ujarnya.
Tito juga menyebutkan bahwa gerakan massa atau people power yang sebenarnya sudah berlangsung pada 17 April 2019, sebab ada kurang lebih 153 juta warga yang ikut memberikan hak pilihnya dalam Pemilu 2019. Kala itu, masyarakat berbondong-bondong melakukan aksinya memilih calon pemimpin dan wakil mereka di parlemen.
"Jadi, kalau nanti ada pengumpulan massa yang lainnya dan [jumlahnya] jauh kurang dari itu, saya kira itu lebih kecil dibanding people power yang 153 juta lebih," tuturnya.