Bisnis.com, JAKARTA – Kurang dari 24 jam ke depan, Pangeran Naruhito, putra tertua Kaisar Akihito akan memulai era baru kekaisaran Jepang sekaligus menjadi kaisar ke-126 yang berkuasa di Negeri Sakura.
Gelar Kaisar Reiwa akan disematkan pada Naruhito sebagai penanda berakhirnya era Heisei yang telah berjalan selama 30 tahun sejak sang Ayah, Kaisar Akihito, naik tahta.
Lahir sebagai putra mahkota negeri yang terkenal dengan prinsip kerja keras dan disiplin ini tak lantas membuat Naruhito terkukung dalam tradisi kolot yang membatasi gerak-geriknya sebagai seorang pemuda.
Naruhito dikabarkan mengalami masa kecil yang bahagia dan relatif normal, terutama jika dibandingkan dengan para leluhurnya. Kaisar Akihito tak segan meminta semua guru di sekolah agar memperlakukan Naruhito seperti siswa biasa lainnya.
Di masa mudanya, Naruhito dapat begitu menikmati kegemarannya menonton pertandingan bisbol, melakukan hiking atau pun ski.
Pada tahun 1983, setahun setelah lulus dari Universitas Gakushuin, Naruhito memutuskan pindah ke Inggris untuk meraih gelar master di Merton College, Universitas Oxford.
Baca Juga
Kehidupannya selama menimba pendidikan di Inggris disebut-sebut sebagai pelajaran berarti dan salah satu masa paling membahagiakan dalam hidupnya.
Untuk pertama kalinya, Naruhito harus berjuang hidup sendiri tanpa pengawasan. Pengalaman menarik ini dituangkannya dalam buku berjudul The Thames and I: A Memoir of Two Years at Oxford.
“Ini adalah saat yang membahagiakan bagi saya, mungkin bisa dikatakan saat paling membahagiakan dalam hidup saya,” tulis Naruhito, seperti dikutip Tokyo Weekender.
Saat Bahagia di Oxford
Sebagian besar pekan pertamanya di Inggris dihabiskan bersama keluarga kerajaan Inggris, termasuk Ratu Elizabeth II. Tak lama setelah itu, ia pindah ke asrama di Oxford. Di sana, Naruhito belajar cara menyetrika dan menggunakan mesin cuci koin.
Salah satu hiburan favoritnya adalah berbincang-bincang soal musik. Tak jarang ia juga ambil bagian dalam banyak olahraga Inggris seperti tenis dan dayung.
Masa-masa itu benar-benar merupakan saat yang menyenangkan bagi seorang pemuda yang kehidupannya hampir selalu berada dalam pengawasan dan penjagaan.
“Dua kali saya bertemu dengan putra mahkota [Naruhito],” kenang antropolog sosial Joy Hendry.
“Pada kesempatan kedua, saya duduk berhadapan dengan pengawal pribadinya yang memberi tahu saya betapa sang pangeran senang berada di Oxford karena dapat berjalan-jalan di jalanan dan pasar lokal di mana tidak ada yang mengenalinya,” kisah Hendry.
Di sekitar kota, Naruhito biasanya mengenakan celana jins. Kebiasaannya ini bisa mengejutkan wisatawan Jepang yang kebetulan bertemu dengannya.
Gaya berbusananya itu pula yang membuatnya ditolak sebuah klub pada suatu waktu. Namun, ini tidak membuatnya kesal. Naruhito justru mendatangi klub berbeda di kemudian hari dan berdansa dengan para gadis sampai jam 2 pagi.
“Mungkin ini adalah disko pertama dan terakhir yang akan saya lakukan dalam hidup saya,” batin Naruhito.
Akhirnya, tibalah saat bagi Naruhito untuk meninggalkan Inggris pada Oktober 1985.
“Ketika pemandangan kota London berangsur-angsur menghilang dari pandangan, saya menyadari bahwa babak penting dalam hidup saya telah berakhir. Babak baru terbuka, tetapi saya merasakan kekosongan besar di dalam hati,” ujarnya.
Pelabuhan Hati
Di kampung halaman tercintanya, aktivitas Naruhito jauh lebih terbatas. Ini mungkin juga karena sang pangeran telah menginjak pertengahan usia dua puluhan dan mendapat tekanan untuk segera menemukan calon istri.
Pangeran Naruhito memang bisa menetapkan pilihannya sendiri, tetapi pilihannya itu harus memenuhi persetujuan komite pejabat istana. Tahun silih berganti hingga Naruhito menginjak usia 32 tahun dan ia masih saja melajang.
Sebenarnya, hati sang pangeran telah tertaut dengan seorang gadis manis yang pertama kali ditemuinya pada 1986 dalam sebuah jamuan teh yang digelar Putri Elena dari Spanyol.
Masako Owada, seorang lulusan Harvard, selama enam tahun berikutnya menjadi incaran Naruhito. Berasal dari kalangan kelas atas, Masako memenuhi kriteria istana di antaranya berpendidikan tinggi dan menguasai beberapa bahasa asing.
Kurang sedap rasanya kisah cinta tanpa cerita berliku. Naruhito dan Masako namun terganjal isu kontroversi seputar kakek dari pihak ibu Masako, yakni Yutaka Egashira.
Yutaka adalah mantan Chairman Chisso Corporation, sebuah perusahaan kimia yang membuang limbah industri sarat merkuri ke teluk Minamata di Kyushu. Limbah industri ini mengarah pada Penyakit Minamata yang mempengaruhi banyak orang.
Meski tidak terlibat langsung dalam skandal itu, hubungan Yutaka dengan Chisso dipandang berpotensi merusak keluarga kekaisaran.
Kekuatan cinta Naruhito diuji. Tetap saja, ia bertekad untuk menikahi Masako. Sayangnya, perasaan yang dimiliki Naruhito tidak disambut sedemikian antusiasnya oleh Masako.
Dua kali Masako menolak lamaran Naruhito karena dengan menikahi sang pangeran ia harus meninggalkan kariernya sebagai seorang diplomat dan menjalani kehidupan kekaisaran yang ‘terpenjara’.
Ketiga Kalinya
Pantang menyerah, Naruhito mencoba melamar Masako untuk ketiga kalinya dan berhasil menerima jawaban yang diinginkannya.
“Yang Mulia [Naruhito] mengatakan kepada saya ‘Kamu mungkin memiliki banyak kekhawatiran dan kegelisahan dalam memasuki dunia kekaisaran, tetapi saya akan melakukan segalanya untuk melindungi kamu selama hidup saya’,” ungkap Masako kepada awak media, setelah pernikahan mereka pada 1993.
Terlepas dari dukungan suaminya, Masako harus berupaya keras menyesuaikan diri dengan kehidupan kekaisaran. Di bawah tekanan untuk dapat melahirkan seorang pewaris laki-laki, ia mengalami keguguran pada tahun 1999.
Kelahiran seorang putri cantik, yang diberi nama Putri Aiko, dua tahun kemudian menjadi obat hati pasangan ini.
Namun, karena Hukum Rumah Tangga Kekaisaran Jepang hanya memperkenankan keturunan lelaki langsung, kelahiran Putri Aiko tidak banyak menyelasaikan masalah soal pewaris tahta.
Putri Masako sampai dikabarkan tak bahagia, stres, dan mengalami gangguan depresi, sehingga membuatnya sulit melakukan tugas-tugas resmi. Dalam suka maupun duka, Pangeran Naruhito tetap mendampinginya.
“Kami sangat sadar akan pentingnya suksesi. Kami juga berharap akan dapat menjalani hidup kami dengan damai tanpa tekanan dari orang-orang di sekitar kami,” ujar Naruhito.
“Saya pikir akan lebih baik jika Putri Masako bisa keluar dengan sedikit lebih banyak kebebasan dan dapat melakukan berbagai hal,” tandasnya.
Beruntung, kelahiran anak Pangeran Akishino, adik lelaki Pangeran Naruhito, yang diberi nama Hisahito, pada 2006 mengurangi tekanan yang dialami Masako.
Seiring dengan tibanya saat merengkuh tahta kekaisaran Jepang, semoga kisah pasangan Pangeran Naruhito-Putri Masako yang telah mengarungi lebih dari 25 tahun usia pernikahan mereka ini tetap lekat dalam kasih.