Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan terdapat empat peran tersangka Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir (SFB) terkait proyek PLTU Riau-1.
"Sebelumnya sampai Juni 2018, diduga terjadi sejumlah pertemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, yaitu Sofyan Basir, Eni Maulani Saragih, dan Johannes Kotjo serta pihak lain di sejumlah tempat seperti hotel, restoran, kantor PLN, dan rumah Sofyan Basir," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/4/2019) seperti dilaporkan Antara.
Dalam pertemuan itu, dibahas sejumlah hal terkait proyek PLTU Riau-1 yang akan dikerjakan perusahaan Johannes Kotjo, yakni pertama, Sofyan Basir menunjuk perusahaan Johannes Kotjo, yaitu Blackgold Natural Resources untuk mengerjakan proyek PLTU Riau-1.
Kedua, lanjut Saut, Sofyan Basir menyuruh salah satu Direktur di PT PLN untuk berhubungan dengan anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar nonaktif Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Johannes Budisutrisno Kotjo.
"Ketiga, SFB menyuruh salah satu Direktur di PT PLN untuk memonitor karena ada keluhan dari Kotjo tentang Iamanya penentuan proyek PLTU Riau-1," ungkap Saut.
Terakhir, Sofyan membahas bentuk dan lama kontrak antara China Huadian Engineering Co (CHEC) dengan perusahaan-perusahaan konsorsium.
Diduga Sofyan Basir menyuruh salah satu Direktur PT PLN agar "Power Purchase Agreement" (PPA) antara PLN dengan Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Co (CHEC) segera direalisasikan.
Dalam kasus tersebut, Sofyan diduga menerima suap dari Johannes Kotjo.
Saut juga mengungkapkan Sofyan juga diduga menerima suap dengan mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah Eni Maulani Saragih dan mantan Sekjen Partai Golkar dan Menteri Sosial Idrus Marham.
Tersangka Sofyan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.