Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Sri Lanka memberlakukan jam malam nasional di tengah penyelidikan dan penjagaan otoritas keamanan setelah serangkaian ledakan bom mengguncang negeri tersebut.
Selain memberlakukan jam malam, pihak otoritas juga membatasi akses ke platform-platform media sosial termasuk Facebook dan Whatsapp.
Sementara itu, jumlah korban tewas akibat serangkaian ledakan terhadap sejumlah hotel dan gereja di Sri Lanka pada Minggu (21/4/2019) meningkat menjadi setidaknya 207 orang, termasuk 30 orang asing. Pemerintah setempat menyatakan telah mengidentifikasi para pelaku peledakan.
“Mereka yang bertanggung jawab atas ledakan itu telah diidentifikasi dan tujuh orang telah ditahan sejauh ini,” terang Menteri Informasi Sri Lanka Ruwan Wijewardene, tanpa memberikan perincian lebih lanjut, seperti dikutip Bloomberg.
Di antara tempat yang menjadi target ledakan pada Minggu (21/4) pagi waktu setempat itu adalah hotel-hotel mewah seperti Shangri-La, Kingsbury, dan Cinnamon Grand, yang dihuni banyak turis asing.
“Sri Lanka sebelumnya telah menerima peringatan tentang kemungkinan serangan terhadap gereja, tetapi tidak pada hotel-hotel,” ujar Menteri Pertahanan Hemasiri Fernando. Ia mencatat beberapa ledakan yang terjadi adalah bom bunuh diri.
Baca Juga
Ledakan-ledakan tersebut terjadi ketika umat Kristiani dan Katolik tengah menjalani misa Paskah. Keuskupan Agung Katolik di Kolombo menyatakan telah membatalkan semua jadwal misa Paskah di malam hari.
Sementara itu, Kementerian Pendidikan mengumumkan akan tetap menutup sekolah-sekolah hingga Rabu (24/4/2019). Aktivitas di sekolah-sekolah untuk periode baru sedianya dibuka kembali pada hari ini, Senin (22/4/2019).
Serangan itu menandai bangkitnya kekerasan di negara berpopulasi 21 juta orang itu. Perpecahan etnis dan agama telah menjangkiti Sri Lanka selama beberapa dekade.
Umat Katolik, yang terbagi antara mayoritas Sinhala dan minoritas Tamil, mencapai 6,5 persen dari populasi di Sri Lanka, menurut sensus negara tahun 2012. Lebih dari 70 persen warga Sri Lanka beragama Budha, 12 persen beragama Hindu, dan 10 persen lainnya beragama Islam.
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe menyatakan pemerintahan telah mengambil langkah-langkah efektif untuk mengatasi situasi tersebut. Ia juga memperingatkan dampak serangan itu terhadap perekonomian dan arus investasi.
“Anda akan melihat tren penurunan ekonomi. Pariwisata akan terpengaruh. Mungkin akan ada aliran dana keluar,” ujar Wickremesinghe, berbicara dalam siaran televisi nasional.
Tak hanya memukul industri pariwisata, serangan tersebut juga akan mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupee, menurut Adrian Perera, chief operating officer di Equicapital Investments di Kolombo.
“Jika situasi keamanan tidak stabil, aliran investasi asing langsung juga akan terpukul, terutama untuk industri real estat. Anggaran pemerintah akan keluar dari jalurnya. Investor asing akan melepaskan saham dan obligasi,” jelas Perera.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Sri Lanka pada kuartal yang berakhir Desember 2018 saja sudah menjadi yang terlamban dalam 19 kuartal, sedangkan ekspansi ekonomi sepanjang tahun melesu untuk tahun ketiga berturut-turut pada 2018.
Menteri Reformasi Ekonomi dan Distribusi Publik Harsha de Silva menginformasikan rencana digelarnya pertemuan dewan keamanan darurat guna meninjau serangan yang tampak terkoordinasi itu.
“Operasi penyelamatan sedang berlangsung. Banyak korban termasuk orang asing. Pemandangan yang mengerikan,” kata de Silva di Twitter.