Bisnis.com, JAKARTA - Kurang dari 24 jam pelaksanaan Pilpres 2019, para pendukung kedua pasangan calon presiden masih sama-sama optimistis kalau jagoan mereka akan memenangkan kontestasi politik lima tahunan tersebut.
Kondisi itu hampir sama dengan situasi pada Pilpres 2014. Apalagi pemain utamanya, kedua calon presiden, juga sama meski kedua pendamping mereka berbeda. Akan tetapi, sejarah telah mencatat bahwa Capres Joko Widodo (Jokowi) yang berpasangan dengan Jusuf Kalla saat itu memenangkan kontestasi dengan selisih 8,42 persen dari pasangan Prabowo-Hatta Rajasa.
Jokowi-JK meraih 53,15 persen suara dan Prabowo-Hatta terkunci di angka 46,85 persen suara.
Agaknya selisih suara yang tidak terlalu jauh itu membuat Prabowo dan empat partai pendukungnya percaya diri untuk tampil kembali ke panggung kontestasi politik kali ini.
Hanya saja berbeda dari 2014, pada pilpres kali ni Jokowi merupakan petahana dan berpasangan dengan tokoh ulama Ma’ruf Amin. Sedangkan Prabowo Subianto tetap berstatus sebagai penantang dan dan sekarang didampingi mantan wakil gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno berlatar pengusaha.
Optimisme para pendukung bahwa jagoan mereka akan memenangkan konstestasi bisa dimaklumi. Alasan mereka yang dikemukakan secara langsung maupun lewat akun media sosial cukup kuat untuk membuat mereka optimistis.
Belum lagi lima sesi debat yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kian memanaskan mesin politik kedua kubu. Dengan segala argumen, para pendukung kedua pasangan calon (paslon) presiden terkesan nyinyir untuk meyakinkan para pemilih yang masih belum memutuskan pilihan mereka.
Tingkat Kepercayaan Survei
Apakah survei masih dipercaya?
Di lain sisi ada pula dinamika baru ketika hampir semua hasil survei yang memenangkan pasangan nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf sejak tahun lalu mulai bergeser. Hampir semua survei pula menyebutkan tren elektabilitas Prabowo-Sandi terus naik meski belum sampai pada kesimpulan sang penantang akan memenangkan pilpres 2019.
Kalau pemilih kalangan pemeluk agama Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia yang dijadikan ukuran, maka kekuatan kedua paslon cukup berimbang. Kalau di kubu paslon 01 ada Ma’ruf Amin yang merupakan mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), di kubu paslon 02 juga ada dukungan basis massa yang tidak kalah kuat.
Selain ada dukungan para ulama yang dideklarasikan melalui Ijtima Ulama, kehadiran kelompok 212 yang dimotori sejumlah ulama dan sempat ‘memutihkan’ Jakarta di kawasan Monas juga sangat kental dengan kampanye Prabowo.
Dalam konteks ini, pemilih berbasis massa Nahdliyin (NU) yang sering diklaim sebagai pendukung pasangan setia Jokowi-Ma’ruf tidak mudah untuk memenangkan petahana.
Dukungan Ustaz Abdul Somad (UAS) yang disebut sebagai ulama paling berpengaruh, terutama di media sosial, akan memberikan energi elektoral bagi Prabowo-Sandi selain dukungan dari sosok pendakwah kondang Abdullah Gymnastiar atau yang lebih dikenal dengan Aa Gym.
Dalam kondisi peta persaiangan seperti itu, sejumlah pengamat pun belum bisa memprediksi siapa yang bakal memenangkan pertarungan politik ini. Keduanya dinilai masih kompetitif, ujar Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting Pangi Syarwi Chaniago yang menyebut selisih elektabilitas kedua kontestan hanya 5,5 persen setidaknya hingga awal April ini.
Pendapat Pangi memang agak kontras dengan mayoritas lembaga survei, sejak 2018 yang menyatakan bahwa elektabilitas Prabowo selalu di bawah Jokowi selaku capres petahana dengan angka meyakinkan. Misalnya, hasil survei Indikator Politik: Jokowi akan menang dengan perolehan suara 55,4 persen.
Demikian juga dengan Indo Barometer dan Saiful Mujani Research Center (SMRC) yang memberi jarak dua digit untuk kemenangan Jokowi.
Survei Kalahkan Jokowi
Kemenangan Prabowo dalam hasil survei diperihatkan oleh Puskaptis yang menyebut elektabilitas Prabowo-Sandi 47,59 persen mengalahkan Jokowi Ma'ruf yang punya elektabilitas 45,37 persen.
Melihat hasil survei yang berbeda-beda itu menang tidak aneh. Pasalnya, dalam satu hasil survei sangat bergantung pada pemilihan responden yang tak sama saat survei dilakukan.
Pengamat Politik LIPI, Siti Zuhro berkali-kali mengatakan bahwa dirinya tidak percaya dengan hasil survei yang sering dipublikasikan akhir-akhir ini. Apalagi, kalau survei tersebut tidak membuka siapa yang mendanainya mengingat biaya sebuah survei tidak sedikit.
Belum lagi ada lembaga survei yang menjadi konsultan kontestan yang disurvei, katanya, kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Baik Siti Zuhro maupun Pangi sama-sama menyatakan kedua pason berpotensi menang, tapi juga berpotensi kalah. Pendapat kedua pengamat itu diperkuat oleh Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno yang mengatakan Prabowo memang masih memiliki peluang menang sebagaimana Jokowi.
Hanya saja, siapa pun yang memenangkan pilpres, pasti memiliki selisih suara yang tipis dengan lawannya. Pertanyaan kuncinya adalah apakah sejarah yang ditorehkan Jokowi pada 2014 akan terulang, atau sebaliknya Prabowo yang akan mencatat sejarah baru sebagai Presiden RI setelah tanding ulang dengan Jokowi? Kita tunggu besok!