Bisnis.com, JAKARTA – Salah satu gletser utama di Greenland yang sempat mengalami penyusutan massa es tercepat di Bumi kini dilaporkan justru meluas.
Studi terbaru dari badan antariksa Amerika Serikat NASA menyebutkan bahwa Gletser Jakobshavn kini mengalami perluasan. Padahal gletser tersebut sempat diprediksi menyusut 3 kilometer dan menipis hampir 40 meter tiap tahunnya.
"Hal ini cukup mengejutkan. Tapi kami sebenarnya sudah terbiasa dengan kondisi yang menyimpang," kata Geological Survey of Denmark, Jason Box, sebagaimana dikutip dari ABC News.
Box yang tak ikut serta dalam studi tersebut mengemukakan bahwa Jakobshavn "bisa dibilang merupakan gletser terpenting di Greenland."
"Gletser ini melepaskan massa es paling banyak di belahan Bumi utara. Untuk semua Greenland, Jakobshavn adalah raja," ungkapnya.
Sementara itu, peneliti yang memimpin studi ini, Ala Khazendar, mengungkapkan pendinginan di Atlantik Utara diperkirakan menjadi penyebab anomali ini. Fenomena ini pun terjadi bersamaan dengan osilasi (variasi periodik terhadap waktu dari suatu hasil pengukuran) Atlantik Utara, pendinginan dan penghangatan di sejumlah perairan.
Air di Teluk Disko, tempat gletser Jakobshavn berlokasi, mengalami penurunan suhu sekitar 2 derajat Celcius.
Anomali pada Jakobshavn merupakan sinyal bagi para ilmuwan bahwa suhu lautan memainkan peran lebih besar bagi daratan es di Bumi dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya.
Meskipun ini adalah "kabar baik" secara sementara, ini adalah berita buruk dalam jangka panjang karena ini memberitahu para ilmuwan bahwa suhu lautan adalah pemain yang lebih besar dalam retret dan kemajuan gletser daripada yang diperkirakan sebelumnya, kata ilmuwan iklim NASA Josh Willis, dalam sebuah studi penulis.
Selama beberapa dekade, air telah dan akan menjadi pemanasan akibat perubahan iklim buatan manusia, katanya, mencatat bahwa sekitar 90 persen dari panas yang terperangkap oleh gas rumah kaca masuk ke lautan.
"Selama puluhan tahun kita berpandangan suhu laut meningkat akibat perubahan iklim yang disebabkan perbuatan manusia karena 90 persen panas yang muncul akibat efek gas rumah kaca berakhir di lautan," ungkap Willis.
"Untuk jangka waktu ke depan, kami mungkin harus meningkatkan prediksi soal kenaikan permukaan laut," sambungnya.
Willis menjelaskan bahwa suhu air laut di sekitar Greenland ibarat eskalator yang naik perlahan akibat pemanasan global, namun suhu itu bisa turun drastis akibat Osilasi Atlantik Utara.
"Suhu air laut bisa menjadi lebih dingin dan memiliki efek, tetapi dalam jangka panjang semakin hangat dan pencairan es akan semakin buruk," kata Willis.