Bisnis.com, JAKARTA - Aksi pembajakan mobil tangki pertaminan berbuntur penangkapan oleh pihak Kepolisian.
Namun, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menganggap terdapat kejanggalan dalam penangkapan buruh Awak Mobil Tangki (AMT) Pertamina oleh aparat Polres Metro Jakarta Utara pada Senin.
Pengacara LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora mengatakan awalnya pihak kepolisian mendatangi Pos Buruh AMT Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara, dengan alasan akan membantu menyelesaikan masalah Buruh AMT.
"Polisi mengajak mengajak Wuryatmo, Ketua Buruh AMT untuk mengobrol di Polres Jakarta Utara serta mengajak sembilan orang lainnya untuk ikut mengawal. Sesampainya di Polres, ponsel mereka disita dan dilakukan pemeriksaan sebagai saksi dan tersangka," kata Nelson dalam keterangan tertulis yang diterima Antara Jakarta, Rabu (20/3/2019).
LBH Jakarta mencatat terdapat 14 orang yang ditangkap tanpa adanya surat penangkapan dan dua orang sudah ditetapkan sebagai tersangka yang dijerat dengan pasal 365 dan 368 KUHP.
Para buruh AMT tersebut ditahan terkait kasus pembajakan dua truk tangki di dua lokasi yang berbeda yakni di Jalan Yos Sudarso (depan Mall Artha Gading), Kelapa Gading, Jakarta Utara dan satu unit lainnya di putaran Podomoro, Jalan Yos Sudarso, Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada pukul 04.00 WIB dan 05.00 WIB.
Kedua truk tangki tersebut kemudian dibawa oleh para pelaku ke kawasan Monas untuk dijadikan alat peraga demonstrasi.
Selain itu, Nelson juga menilai aparat telah menghalangi pengacara untuk memberikan bantuan hukum kepada para buruh yang ditangkap pada Senin.
"Penghalangan tersebut ditunjukan melalui tindakan fisik dan verbal berupa dorongan dan teriakan-teriakan dari anggota Satreskrim Polres Jakarta Utara," kata Nelson.
Akibatnya hingga saat ini para buruh yang ditahan belum bisa bertemu dengan penasehat hukum meskipun sudah menandatangani surat kuasa.
Nelson menyebut tindakan itu bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan saksi dan tersangka berhak didampingi oleh kuasa hukum dalam proses pemeriksaan. Tindakan tersebut, ujar Nelson, sekaligus melanggar UU 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan UU 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dan Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Nelson juga menyayangkan aparat Kepolisian yang tidak menaati Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Aturan tersebut dengan jelas menyebutkan "Dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka, atau terperiksa, petugas dilarang menghalang-halangi penasihat hukum untuk memberikan bantuan hukum kepada saksi/ tersangka yang diperiksa".