Kabar24.com, BANDUNG — Sidang lanjutan kasus gratifikasi terkait dengan perizinan proyek Meikarta mengungkap fakta bahwa awalnya anggaran yang dijanjikan untuk pengurusan izin proyek milik Lippo Grup adalah Rp20 miliar.
Lantaran jumlah lahan yang disetujui oleh Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah Yasin hanya 84,6 hektare, akhirnya hanya disetorkan sebesar Rp10,5 miliar.
Hal itu terungkap saat jaksa KPK menghadirkan saksi EY Taufik yang menjabat sebagai Kepala Bidang Tata Ruang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bekasi.
Taufik dicecar jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan kronologi penyuapan yang dilakukan pihak Meikarta kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Taufik mengaku, awalnya dirinya dihubungi oleh Neneng untuk mencari tahu terkait mega proyek tersebut.
"Waktu itu saya di telepon, beliau mengatakan 'Pak Taufik tahu Meikarta?', saya bilang tidak tahu. Beliau sampaikan 'saya dihubungi bapak gubernur ada Meikarta di Bekasi'. Saya sampaikan akan cari tahu info itu," ucap Taufik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Kota Bandung, Rabu (13/3/2019).
Setelah itu, Taufik langsung menelusuri terkait proyek Meikarta tersebut. Hasilnya, ia mengetahui proyek tersebut merupakan proyek yang digagas PT Lippo Cikarang.
Kemudian, dia menghubungi koleganya di Lippo Cikarang yakni Satriadi. Satriadi pun membenarkan bahwa akan segera dibangun kawasan Meikarta di Bekasi.
Satu hingga dua minggu kemudian, Taufik bertemu dengan Satriadi yang saat itu tengah bersama Edi Dwi Soesianto, Kepala Divisi Land Acquisition and Permit PT Lippo Cikarang.
Pertemuan tersebut berlangsung di Masjid Cibiru dan membahas soal perizinan proyek Meikarta dengan luas total 438 hektare.
"Saya tanya berapa luasnya [proyek Meikarta] dijawab 438 hektare, saya bilang besar banget. Terus beliau menyampaikan kira-kira bagaimana prosesnya. Saya bilang ajukan saja. Lalu beliau [Satriadi] menanyakan berapa biayanya? Saya bilang enggak tahu. Lalu beliau [Satriadi] menyampaikan bagaimana kalau Rp20 miliar? Saya bilang nanti disampaikan," tutur Taufik.
Kemudian, pascapertemuan dengan Satriadi dan Edi Dwi Soesianto, Taufik lantas menghadap Bupati Neneng, dan menginformasikan hasil dari pertemuan tersebut. Termasuk, soal biaya Rp 20 miliar untuk pengurusan izin.
"Waktu itu ibu Bupati nggak sampaikan apa-apa. Cuma bilang ya udah diproses saja," kata dia.
Jaksa kemudian mencecar saksi terkait uang Rp 20 miliar tersebut yang diungkapkan Satriadi.
"Ada Rp 20 miliar untuk perizinan, bagaimana pembicaraannya? Apakah seluruh perizinan atau IPPT [izin peruntukan penggunaan tanah] saja?," tanya jaksa.
"Seluruhnya," timpal Taufik.
Proses perizinan kemudian dilakukan, Satriadi bertugas membuat konsep IPPT yang kemudian diajukan ke Dinas PTMPTSP Bekasi.
Taufik menyatakan bahwa dalam proses IPPT, Edi Soes dan Satriadi pernah menghadap Bupati Neneng.
"Apa yang disampaikan saat pertemuan?," tanya jaksa.
"Terkait perizinan IPPT mohon dibantu," kata Taufik.
Namun, Taufik mengaku tidak tahu bagaimana proses perizinan IPPT yang dilakukan oleh Edi Dwi Soesianto dan Satriadi. Namun, Taufik tiba-tiba dihubungi Neneng Hasanah Yasin yang menyampaikan bahwa IPPT proyek Meikarta telah ditandatangani.
Lalu, Taufik diminta Neneng Hasanah Yasin untuk menanyakan tindak lanjut dari janji yang sudah diucapkan oleh Satriadi.
"Setelah itu bupati minta tolong ditanyakan tindak lanjutnya," kata Taufik.
Menurut Taufik, IPPT yang diajukan tersebut seluas 143 hektare. Namun setelah ditanda tangani, luasan yang disetujui hanya 84,6 hektare.
Alhasil, fulus yang direalisasikan untuk Neneng Hasanah Yasin hanya Rp 10,5 miliar dari janji yang sebelumnya yakni Rp 20 miliar untuk keseluruhan izin kawasan. Jaksa lantas membacakan enam tahap pemberian suap termasuk Rp 500 juta yang diberikan untuk Taufik.