Bisnis.com, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum KPK sempat meragukan kapasitas saksi meringankan yang dihadirkan penasehat hukum Eddy Sindoro dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution, di Pengadilan Tipikor, Senin (18/2/2019).
Saksi meringankan yang dihadirkan merupakan ahli forensik digital sekaligus Kepala Pusat Studi Forensika Digital Universitas Islam Indonesia (UII) Yudi Prayudi.
JPU KPK Abdul Basir mengatakan bahwa di perguruan tinggi memang ada departemen digital dan fakultas fisika, serta departemen fibrasi dan akustik. Namun, keduanya merupakan jurusan yang berbeda.
Hal itu merupakan selaan ketika salah satu penasehat hukum Eddy Sindoro meminta pendapat Yudi mengenai proses identifikasi suara dalam digital forensik.
"Mohon dipertegas lagi, apakah memang ini ruang lingkup dari pengetahuan ahli atau enggak? Karena kalau di kampus, ini dua fakultas yang berbeda," kata JPU KPK Abdul Basir kepada penasehat hukum.
Mendengar pertanyaan tersebut, penasehat hukum menyatakan jika saksi yang dihadirkan sesuai kapasitas. Saksi yang dihadirkan disebutnya berkompeten.
Baca Juga
"Jadi kalau soal teknik fisika, fibrasi, sesuatu yang lain. Jadi, biarkan kami menanyakan sesuai karena kami tidak akan menyimpang dari digital forensik," ujar salah satu penasehat hukum.
Dalam keterangannya, Yudi menjelaskan secara rinci terkait proses didapatkannya bukti forensik. Hal ini berkaitan dengan alat bukti sadapan KPK yang diragukan keabsahannya oleh tim penasehat Eddy Sindoro.
Yudi mengatakan bahwa digital forensik untuk kasus dan bukti elektronik tertentu adalah teknis yang tidak mudah dipahami.
Dalam metode ilmiah, kata dia, ada sejumlah tahapan yang mengatur alat bukti digital. Pertama, pengumpulan yakni menjelaskan di mana mendapatkan alat bukti forensik atau bukti digital tersebut.
Kemudian, eksaminasi yang merupakan tahapan mengeksplorasi data dan menganalisa alat bukti yang menjadi tujuan pemeriksaan, serta mendapatkan hipotesis yang diinginkan.
"Salah satu standarnya harus disampaikan dengan jelas. Prosesnya bukti elektronik itu apa dan bagaimana mendapatkannya kemudian ketika melakukan eksplorasi, analisis itu adalah metode apa yang digunakan kemudian pemeriksaan akhir itu ada di laporan lengkap," paparnya.
Sebelumnya, terdakwa Eddy Sindoro tak mengakui terkait barang bukti dari penyidik KPK berupa rekaman percakapan. Eddy menyanggah bahwa suara dalam rekaman tersebut adalah dirinya.
Adapun sebelumnya, ahli forensik suara dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dhany Arifianto yang diminta KPK untuk meneliti rekaman tersebut menjelaskan bahwa rekaman hasil sadapan itu identik dengan suara Eddy.
Salah satu penasehat hukum Eddy Sindoro juga menanyakan apakah bisa seseorang menirukan suara orang lain secara identik atau disebut dengan manipulasi suara.
Mendengar pertanyaan itu, Yudi tak menampik bila ada seseorang yang bisa menirukan suara orang lain.
Namun, setiap orang memiliki karakter masing-masing yang berasal dari pita suaranya sehingga belum tentu sama persis dengan orang yang ditirunya.
Eddy Sindoro sebelumnya didakwa menyuap panitera Edy Nasution. Suap diduga diberikan terkait pengurusan sejumlah perkara untuk beberapa perusahaan yang ditangani di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
KPK sendiri menetapkan Eddy sebagai tersangka sejak 2016. Namun, dia sebelumnya sempat buron dan akhirnya menyerahkan diri ke KPK.
Atas perbuatannya, Eddy Sindoro disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-undang (UU) No. 31/1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.