Bisnis.com, JAKARTA – Tepat di saat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bermaksud mempererat hubungannya dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, pemerintahan Trump bersitegang dengan aliansinya, Korea Selatan.
Yang menjadi permasalahan adalah desakan pemerintahan Trump agar Korsel menyetujui kenaikan pembayaran sebesar 50% untuk perlindungan militer AS, termasuk mensubsidi fasilitas bom berkemampuan nuklir yang ditempatkan ribuan mil jauhnya di Guam.
Sementara itu, kesepakatan pembagian biaya antara kedua negara berakhir pada 31 Desember. Jika kesepakatan ini tidak segera diperbarui, personil sipil Korsel akan dirumahkan seperti yang baru saja dialami di AS (government shutdown).
Prospek mencetak kesepakatan baru sebelum tenggat waktunya pada 15 April tampak buruk, menurut seorang pejabat Korea Selatan yang terkait dengan diskusi itu.
Saking alotnya diskusi, pihak perunding Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dikatakan telah meminta dukungan dari pihak di luar perundingan itu, termasuk Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri pada Jumat (25/1) mengatakan bahwa Korsel harus berkontribusi lebih banyak daripada yang ditawarkan untuk mencapai apa yang diyakini oleh pemerintah AS sebagai keseimbangan biaya yang adil.
Pemerintah AS telah meminta semua sekutunya untuk mengimbangi biaya penempatan pertahanan AS di luar negeri, kata seorang pejabat yang menolak diidentifikasi.
Perselisihan ini menjadi satu di antara beberapa masalah yang membebani hubungan AS-Korsel, justru ketika Trump mempersiapkan pertemuan kedua kalinya dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bulan depan.
Dalam beberapa pekan terakhir Kim Jong-un telah mengajukan tuntutan yang akan melemahkan kesiapan militer AS-Korsel, termasuk mengupayakan penghapusan "aset-aset strategis" AS dari wilayah tersebut dan mengakhiri latihan militer bersama dengan Korsel.
“Kekhawatiran utama saya adalah kemungkinan dimana keinginan Trump untuk menarik pasukan [AS] akan menjadi lebih kuat, jika ia diyakinkan dapat menukarnya dengan senjata nuklir Korea Utara dan jika sekutu [Korsel] tidak dapat menyelesaikan negosiasi biaya pertahanan sebelum pertemuan Trump-Kim berikutnya,” kata Duyeon Kim, seorang pejabat senior di Center for New American Security.
“Ini akan menjadi krisis langsung bagi Korea Selatan yang mengalahkan ancaman senjata nuklir Korea Utara,” tambahnya, seperti dilansir dari Bloomberg.
Perselisihan pembagian biaya adalah salah satu masalah keamanan yang belum terselesaikan ketika mantan Menteri Pertahanan AS James Mattis mengundurkan diri pada 20 Desember karena perbedaan dengan Trump mengenai nilai aliansi.
Kesepakatan, yang memiliki masa perjanjian selama lima tahun dan membutuhkan persetujuan legislatif oleh kedua negara, pun berakhir 11 hari kemudian.
Meski AS tidak menjelaskan secara terperinci kontribusi Korea Selatan, sejumlah pejabat Amerika mengungkapkan bahwa pemerintah AS mensubsidi sekitar separuh dari biaya personil lokalnya.
Korsel menyatakan membayar sekitar 960 miliar won (US$849 juta) tahun lalu, membiayai pembangunan fasilitas militer AS, dan membayar warga sipil Korsel yang bekerja di pos-pos militer.
“Ketika masa kesepakatan itu akan berakhir, pemerintah AS tiba-tiba meminta 1,4 triliun won (US$1,2 miliar) dari Korea Selatan,” kata anggota parlemen Korsel Hong Young-pyo.
“Adalah sesuatu yang tidak diinginkan jika permintaan sepihak satu negara merusak kepercayaan sekutunya dan menyebabkan perpecahan,” lanjut Hong.
Krisis yang sesungguhnya tidak akan terjadi sampai 15 April mendatang ketika pemerintah Korsel dijadwalkan untuk mulai membayar personil sipil
“Kami berdua [Korsel-AS] sangat ingin mencapai persetujuan secepat mungkin. Masih maju mundur. Kami belum mencapai kesepakatan, tetapi kami sangat berharap untuk menutup perselisihan ini,” ujar Menteri Luar Negeri Korea Selatan Kang Kyung-wha kepada CNN pada Kamis (24/1).